Persoalan Penerimaan Murid Baru Terletak pada Jumlah, Daya Tampung dan Kualitas Sekolah Tidak Merata

Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan. Foto : Nai Niaga.Asia

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan,  mengatakan, kisruh penerimaan murid baru tiap tahun ajaran baru bukan terletak pada sitem penerimaan baru, tapi pada ketimpangan daya tampung sekolah di suatu wilayah/zona, seperti lulusan SD lebih banyak dari daya tampung SMP, atau lulusan SMP lebih banyak dari daya tampung SMA/SMK, serta adanya ketimpangan mutu antar sekolah antar wilayah.

“Sistem zonasi yang diterapkan saat ini kerap menyulitkan masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang belum memiliki infrastruktur pendidikan yang merata dan sarana pendukung yang memadai. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan,” ungkap Agusriansyah, kepada wartawan, Selasa (10/6/2025).

Zonasi ini sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat Kalimantan Timur. Ini masalah yang sampai hari ini belum ada penyelesaian komprehensifnya. Jangan hanya sistem yang dibahas, tapi regulasi dan implementasinya juga harus diperhatikan.

Dari itu, lanjut Agusriansyah, ke depan pemerintah daerah harus mengatasi ketimpangan tersebut dengan membangun sekolah baru atau meningkatkan daya tampung sekolah lama, termasuk peningkatan mutu sekolah yang selama ini dianggap tertinggal dibandingkan sekolah lain.

“Orang tua lebih memilih anaknya masuk sekolah dianggap “unggul” meski sekolah itu jauh dari rumah tinggalnya. Keinginan orang tua “melompati” zona sekolah bagi anaknya tersebut menimbulkan persoalan tiap tahun ajaran baru,” ujarnya.

Agusriansyah mengingatkan bahwa dasar negara melalui UUD 1945 sudah sangat jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan.

Amanat ini tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945 dan menjadi dasar bahwa semua kebijakan pendidikan harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.

“Kalau sistem zonasi yang sekarang justru menimbulkan ketidakadilan, ya harus dievaluasi. Tidak semua kebijakan dari pusat bisa diterapkan secara kaku di daerah. Kalimantan Timur punya karakteristik tersendiri,” katanya.

Ia juga mengkritisi  regulasi dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, tidak bisa menjadi satu-satunya acuan mutlak jika tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

“Peraturan yang dikeluarkan kementerian itu bukan bahan baku yang saklek. Kita harus punya fleksibilitas kebijakan. Kalau ternyata di daerah justru menimbulkan ketimpangan, ya harus ada regulasi turunan yang sesuai dengan local wisdom,” ucapnya.

Untuk itu, ia menyarankan tiga langkah konkret agar persoalan PPDB di Kaltim bisa ditangani secara struktural dan adil. Pertama, membuat regulasi yang berpihak pada kondisi lokal melalui Peraturan Gubernur atau bahkan Peraturan Daerah (Perda) terkait sistem penerimaan siswa baru.

“Bisa saja kita buat Perda, karena penerimaan siswa baru ini kan masalah yang terus berulang setiap tahun. Kita harus punya pendekatan lokal yang khas Kaltim,” ujarnya.

Langkah kedua, menurutnya, adalah percepatan pembangunan infrastruktur sekolah, termasuk ruang belajar (rombel), laboratorium, dan fasilitas pendukung lainnya agar semua sekolah memiliki standar mutu yang setara.

“Kalau semua sekolah punya kualitas dan fasilitas yang sama, tidak akan ada lagi rebutan masuk ke sekolah tertentu. Masyarakat akan percaya bahwa setiap sekolah layak untuk anak-anak mereka,” jelasnya.

Ketiga, ia menekankan pentingnya peningkatan aksesibilitas ke sekolah, terutama di daerah terpencil. Menurutnya, akses ke sekolah bukan lagi soal jarak fisik, tapi soal fasilitas transportasi dan infrastruktur pendukung.

“Kalaupun jaraknya jauh, tapi jalannya bagus, ada bus sekolah yang representatif, ruang belajar lengkap, itu tidak akan jadi masalah. Ini yang harus kita pikirkan ke depan,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa dalam pembahasan bersama Dinas Pendidikan, pihaknya belum melihat data yang utuh, terutama terkait jumlah siswa lulusan SMP dan daya tampung SMA di berbagai daerah.

Hal ini, menurutnya, menyulitkan analisis kesenjangan antara kebutuhan dan kapasitas.

“Tadi memang tidak disampaikan jumlah input, hanya ditampilkan daya tampung. Kalau misalnya daya tampung 3.000, tapi peminatnya 6.000, itu kan harus dicermati agar kita tahu berapa sebenarnya kebutuhan rombel tambahan,” katanya.

Agusriansyah menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pemerintah daerah harus lebih aktif dalam mengambil langkah-langkah konkret, bukan hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat, tetapi juga pengambil inisiatif untuk menyesuaikan kebijakan dengan kondisi nyata daerah.

“Kita tidak bisa terus berputar pada sistem penerimaan yang tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah pusat buat sistem, tapi yang tahu kondisi lapangan adalah pemerintah daerah. Kita harus berani merumuskan solusi yang adil dan manusiawi. Itu amanat UUD 1945,” pungkasnya.

Penulis : Nai | Editor : Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: