Perubahan APBN 2020, Pemerintah Tak Mudah Hadapi Tantangan

ilustrasi

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Dengan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 saat ini, Pemerintah dan otoritas keuangan dinilai tidak akan mudah menghadapi tantangan ke depan. Pasalnya, Pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan mengandalkan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 654,5 triliun.

Hal ini diungkap Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah dalam rilisnya, Senin (11/5/2020), seperti dikutip situs dpr.go.id.

Defisit APBN semula dipatok pada kisaran Rp 307,2 triliun (1,76 persen), kini menjadi Rp 853 triliun (5,07 persen). Pemerintah harus menambal defesit dengan utang, karena sempitnya ruang fiskal. “Tidak banyak yang bisa dikerjakan Pemerintah dalam utak atik APBN,” analisa politisi PDI-Perjuangan ini.

Selain banyak belanja yang sifatnya mandatori karena perintah UUD 1945 dan undang undang, seperti anggaran pendidikan 20 persen, anggaran kesehatan 5 persen, dan dana desa 10 persen, juga masih terdapat belanja rutin yang utak atiknya tidak longgar. Inilah salah satu tantangan ke depan yang tidak mudah.

“Dalam situasi ekonomi demestik dan global mengalami slowing down, kita berharap masih banyak investor yang berminat dengan global bond yang diterbitkan pemerintah. Hingga 3 April 2020, justru banyak investor non residen melepas SBN senilai Rp135,1 triliun. Keadaan ini akan menjadi tantangan pemerintah,” tutur Said.

Seperti diketahui sebelumnya, Pemerintah telah mengusulkan perubahan APBN 2020 kepada DPR RI. Desain makro APBN tahun 2020 komposisinya adalah pendapatan negara dipatok turun, semula Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun dan belanja negara naik, semula Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun. Perubahan ini berkonsekuensi pada melebarnya angka defisit APBN.

Menurut Said, bila pandemi Covid-19 mengajak “bermain panjang”, maka alokasi anggaran penanganan Covid-19 berikut jaring pengaman sosial dan program pemulihan ekonomi sebesar Rp 405,1 triliun berpotensi tidak mencukupi. Konsekuensinya, kebutuhan pembiayaan akan semakin membesar. Apalagi penerimaan dari pajak dan sumber daya alam berpotensi mengalami penurunan sebagaimana yang telah diproyeksikan.

Kemampuan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), lanjut legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur XI ini, untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penjaminan dan penanganan bank sistemik dan non-sistemik tidak memiliki anggaran yang memadai.

“Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Pemerintah memberi antisipasi dengan dukungan pinjaman dari Pemerintah dan Bank Indonesia. Artinya, kebutuhan pembiayaan untuk support LPS makin besar,” ungkapnya. (*/001)

Tag: