Pilwali Samarinda, Parawansa Assoniwora, Penantang “Kaum Tua”

aa
Roemah Djoenda, rumah olah pikir Parawansa Assoniwora. (Foto Parawansa Assoniwora)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Pemilihan wali kota dan wakil wali kota Samarinda tahun 2020, akan digelar 23 September 2020. Bursa bakal calon untuk kota Samarinda, sudah ramai. Salah satu yang memberanikan diri untuk maju bersaing adalah Parawansa Assoniwora.

Dengan tagline#SamarindaBerani dan #PartisipasiAdalahKunci. Parawansa yang masuk kelompok usia muda kaum milenial menjadi penantang “kaum tua” alias generasi old.

Saya sendiri kenal dengan Parawansa, meski tidak akrab, tapi sering bertemu dengannya di kegiatan-kegiatan diskusi atau seminar-seminar. Sebagai mantan aktivis kampus, suaranya lantang menggugat pola pikir “lama” dalam mengelola masalah. Pemikiran Parawansa, sebagai kaum milineal terpelajar, ingin menebar nilai-nilai dan pola-pola berpkir baru dalam melihat perpolitikan dan kekuasaan.

Lama tidak bertemu dengan Parawansa, saya lebih banyak mengikuti jalan pikirannya melalui akun Facebooknya, termasuk yang diviralkan rekan-rekannya. Terakhir postingannya “menggugat” pertanyaan netizen; “Serius, berani maju Walikota Samarinda?”.

aa

Parawansa juga mengungkapkan sedihnya atas komentar netizen yang menyebut; “ Samarinda ini udah carut-marut bro, sangat sulit untuk menatanya kembali”dan “Kalo’ ngak punya duit, ngapain berani bro, jadi Calon tidak hanya butuh keberanian.”.

Menurut Parawansa, Kalo’ ditanya serius apa gak. Yaa saya serius. Kalo’ ditanya Samarinda udah carut-marut, yaa saya sepakat. Nah, kalo’ saya ditanya ngapain maju kalo’ gak punya duit, ini pertanyaan yang super aneh menurut saya… hehehehe.”

“Kenapa saya katakan super aneh? Karena yg bertanya sepakat kalo’ kota ini udah sangat carut-marut, tapi masih di sisi lain, kalo’ harus jadi pemimpin kota yg katanya udah carut-marut, harus nyiapkan dana yang besar,” balasnya.

Parawansa menulis, Bro percayalah, kota yang bro katakan carut-marut ini butuh orang yang mampu bekerja keras, meluangkan waktu banyak, mencurahkan pikiran dan energinya, untuk, paling tidak, memberi efek baik bagi kota dan masyarakat di dalamnya.

Tapi jika untuk mejadi pemimpin atau walikota seseorang harus mengeluarkan anggaran besar untuk itu, sama saja kalo’ bro udah menjual kota ini pada investor, bukan cari pemimpin. Jangan heran kalo’ kotanya diekploitasi atau dikuras oleh sang investor. Jadi jangan berharap ada perbaikan atau perubahan yg lebih.

“Kalo’ bro minta saya keluarkan dana besar untuk jadi pemimpin kota Samarinda. Dengan tegas saya katakan: TIDAK!!!. Mending duit itu saya jadikan modal usaha. Dapat uang yang halal, dari pada saya gunakan untuk jadi Walikota, yang ujung-ujungnya membuat saya berpikir untuk kembalikan modal saya waktu mencalonkan dengan cara-cara yg merugikan masyarakat atau mengambik keuntungan dengan jabatan saya, dgn mengambil fee proyek atau mengeluarkan aturan atau kebijakan yg hanya memberi dampak buruk pada masyarakat,” tandasnya.

“Ngapain saya keluarkan UANG banyak untuk sebuah pekerjaan yang akan menguras waktu, tenaga dan pikiran saya? Bagi saya, itu hal yg tolol… hehehehe. Jadi, kalo’ ingin segenap tenaga, pikiran, waktu, dan keberpihakkan saya ke masyarakat kota Samaridna ada, saya tidak akan mengeluarkan dana besar untuk mencalonkan diri. Kalo’ karena itu saya tidak terpilih, saya akan menjadi bangga dengan diri saya bro,” ungkapnya.

Menurut Parawansa yang markas pejuangan dinamai . Roemah Djoeanda adalah wadah untuk mereka yang ingin perubahan…. “Roemah Djoeanda adalah wadah untuk mereka yang BERANI berdiri digaris berbeda dengan yang ada saat ini,” tandasnya.

Saya sendiri senang Parawansa merangsek maju menerobos ruang-ruang berpikir lama masyarakat soal seorang walikota, karena kota Samarinda yang sudah berusia 351 tahun, memerlukan anak muda. Selain itu saya juga sudah jengah melihat “kaum tua” mengurus Samarinda. Samarinda butuh pemimpin muda, seperti daerh-daerah lainnya dengan pemikiran besar yang tidak terkunci oleh berbagai kepentingan setelah menjabat. (Intoniswan)