Polri Tak Izinkan Mobilisasi Massa Usai Pencoblosan

aa
Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta masyarakat untuk menahan diri melakukan pawai atau bentuk mobilisasi massa lainnya setelah pencoblosan, 17 April mendatang. Tito menegaskan polisi tak akan memberi izin kepada mereka yang hendak melakukan mobilisasi massa.

“Meminta masyarakat untuk tidak melakukan pawai, syukuran, atau apapun mobilisasi massa untuk menunjukkan kemenangan karena nanti akan memprovokasi pihak lainnya,” ujar Tito dalam rapat gabungan di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM, Senin (15/4).

Hadir pula Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kepala BIN Budi Gunawan, Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Kominfo Rudiantara, Ketua KPU RI Arief Budiman, Ketua Bawaslu RI Abhan, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Harjono, serta para kepala staf angkatan dan pejabat instansi terkait. Dalam kegiatan itu juga dilakukan video conference dengan jajaran TNI-Polri di penjuru daerah.

Tito mendasari keputusannya itu pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Jika ada mobilisasi massa setelah pencoblosan, ia khawatir akan ada gesekan yang muncul di tengah masyarakat.

Dia juga mengimbau menerapkan prosedur yang berlaku seperti melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bila menemukan dugaan pelanggaran dalam proses pemungutan suara. “Sehingga kalau ada yang dianggap melanggar, tidak dalam bentuk mobilisasi massa. Kalau dalam bentuk mobilisasi massa, maka Polri tidak akan memberikan izin,” ujarnya.

Wajib Netralisir Gangguan Pemilu

Menko Polhukam Wiranto mengatakan aparat keamanan menunggu hitung resmi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Wiranto mewanti-wanti ada potensi kericuhan jika ada pihak yang ngotot turun ke jalan untuk melakukan pawai kemenangan berdasarkan hasil penghitungan cepat. “Ini sesuatu yang dianjurkan tidak dilakukan. Jangan dilakukan. Karena akibatnya akan membuat sesuatu menjadi ricuh,” kata Wiranto.

Wiranto pun mengutip Pasal 6 UU No.9/1998 yang berbunyi agar penyampaian pendapat tidak mengganggu ketertiban umum, tidak mengganggu kebebasan orang lain, dalam batas etika dan moral, serta tidak mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.  “Kalau syukuran kemenangan di rumah masing-masing boleh, di rumah tetangga boleh. Tapi kalau umum akan dilarang aparat kepolisian,” ujarnya.

aa
Rapat koordinasi kesiapan akhir pengamanan tahapan pemungutan dan perhitungan suara Pileg dan Pilpres Tahun 2019 di Jakarta, Senin (15/4/2019). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Aparat keamanan di daerah, terang Wiranto, perlu memastikan pelaksanaan pemilu pada 17 April mendatang berjalan aman dan lancar. “Berikan dan ciptakan ruang gerak yang aman bagi para pemilih dari rumah ke TPS, agar pemilih dapat melaksanakan pemilihan tanpa tekanan,” ujarnya.

Aparat keamanan juga harus membantu pihak penyelenggara maupun petugas yang memerlukan bantuan. Wiranto menekankan agar aparat memasang mata dan telinga, serta menetralisir gangguan pemilu di wilayah masing-masing.

Selain itu, sambung dia, aparat perlu mengawal mobilisasi dan proses penghitungan suara secara ketat guna menghindari potensi kecurangan. “Aparat juga tetap menjunjung netralitas dan gunakan motto pengamanan pemilu sebagai sebuah kehormatan.” tandasnya.

Di sisi lain, Wiranto juga berharap semua pihak berpartisipasi untuk mendinginkan suasana politik yang sempat menghangat. Pemerintah, imbuh dia, prinsipnya ingin hari pencoblosan dapat berlangsung suka cita dan bukan dijadikan ajang saling membenci.

“Rapat kesiapan ini kita coba mengangkat masalah yang belum terselesaikan. Nah, temuan permasalahan secara teknis keamanan sudah dapat diatasi dengan koordinasi yang ketat antara kementerian/lembaga atau pemerintah daerah,” pungkasnya.

Sumber: CNNIndonesia/Media Indonesia/Antara