Prancis Tuduh Turki ‘Coba Picu Kebencian Terhadap Prancis’

Presiden Erdogan berkata: “Macron membutuhkan perawatan mental”. (Foto Reuters)

PARIS.NIAGA.ASIA-Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, pada hari Minggu (25/10) menuduh Turki mencoba memicu kebencian terhadap Prancis, sehari setelah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menghina presiden Prancis.

Pada hari Sabtu, Presiden Erdogan menyebut Presiden Emmanuel Macron dari Prancis “memerlukan perawatan mental”, setelah mengeluarkan pernyataan tentang Islam.

Macron mengeluarkan pernyataan tentang sekulerisme, kebebasan berpendapat, dan soal karikatur Nabi Muhammad, sebelum dan setelah pemenggalan guru di Prancis, Samuel Paty, oleh Muslim fundamentalis.

Le Drian menuduh Turki, yang merupakan anggota NATO, mengeluarkan propaganda yang memfitnah.

Ia mengecam pernyataan Presiden Erdogan, menggambarkannya sebagai “tindakan yang tidak bisa diterima” dari negara sekutu.

Ditambahkan bahwa “propaganda” dari Ankara ini “memperlihatkan keinginan untuk memicu kebencian terhadap Prancis”.

Ia juga mempertanyakan sikap Turki yang tidak mengutuk insiden pemenggalan kepala maupun tidak adanya pernyataan solidaritas dari Ankara.

Sebelumnya, Prancis memanggil duta besarnya di Turki untuk konsultasi setelah Presiden Erdogan mengeluarkan pernyataan yang dinilai menghina Presiden Macron.

Erdogan mengatakan Macron membutuhkan pemeriksaan kesehatan mental karena berjanji mempertahankan nilai-nilai sekuler dan melawan Islam radikal.

Pernyataan tegas Macron itu diutarakan setelah seorang guru Prancis dibunuh karena mempertunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelas.

Prancis “tidak akan melepaskan karikatur kami”, katanya awal pekan ini.

Penggambaran Nabi Muhammad dianggap pelanggaran serius bagi umat Islam karena tradisi Islam secara eksplisit melarang gambar Muhammad dan Allah.

Macron memuji Samuel Paty, guru yang dipenggal kepalanya karena menampilkan kartun Nabi Muhammad, sebagai “wajah Republik”. (Foto Reuters)

Tetapi sekularisme negara – atau laïcité – adalah identitas nasional Prancis. Membatasi kebebasan berekspresi untuk melindungi perasaan satu komunitas tertentu, kata negara, merusak persatuan negara.

Menanggapi kampanye Macron untuk mempertahankan nilai sekulerisme – yang telah dimulai sejak sebelum guru itu terbunuh, Erdogan mengatakan: “Apa masalah individu bernama Macron dengan Islam dan dengan Muslim?”

Dia menambahkan: “Macron membutuhkan perawatan mental.

“Apa lagi yang bisa dikatakan kepada seorang kepala negara yang tidak memahami kebebasan berkeyakinan dan yang berperilaku seperti ini kepada jutaan orang yang tinggal di negaranya yang merupakan umat dari agama yang berbeda?”

Setelah pernyataan itu, seorang pejabat kepresidenan Prancis mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa duta besar Prancis untuk Turki dipanggil untuk konsultasi, dan akan bertemu dengan Macron.

“Komentar Presiden Erdogan tidak dapat diterima. [Komentar] berlebihan dan kasar bukanlah sebuah metode. Kami menuntut agar Erdogan mengubah arah kebijakannya karena berbahaya dalam segala hal,” kata pejabat tersebut.

Erodgan adalah seorang Muslim taat yang berusaha untuk memasukkan Islam ke dalam politik arus utama Turki sejak Partai AK yang berakar pada Islam berkuasa pada tahun 2002.

Perselisihan diplomatik ini adalah masalah terbaru yang merenggangkan hubungan antara Prancis dan Turki, yang merupakan sekutu di bawah NATO.

Meski sama-sama berada dalam NATO, keduanya tidak setuju pada berbagai masalah geo-politik, termasuk perang saudara di Suriah dan Libya, serta konflik antara Armenia dan Azerbaijan atas sengketa Nagorno- Karabakh.

Tujuh orang, termasuk dua siswa, telah didakwa atas pemenggalan kepala Samuel Paty, guru di Prancis, pada 16 Oktober di dekat Paris.

Pembunuhnya, Abdullakh Anzorov yang berusia 18 tahun, ditembak mati oleh polisi tak lama setelah serangan itu, yang terjadi di dekat sekolah tempat Paty mengajar.

Keterangan video,

Rallies in Paris, Toulouse, Lyon and other French cities in support of Samuel Paty

Pada 2015, sebanyak 12 orang tewas dalam serangan di kantor majalah satir Prancis Charlie Hebdo.

Kantor majalah tersebut menjadi sasaran para ekstremis karena menerbitkan kartun Nabi Muhammad.

Awal bulan ini, Macron menggambarkan Islam sebagai agama “dalam krisis”, dan mengumumkan rencana pembuatan undang-undang yang lebih ketat untuk menangani apa yang disebutnya “separatisme Islam” di Prancis.

Ia mengatakan minoritas dari sekitar enam juta Muslim Perancis berada dalam bahaya membentuk “masyarakat tandingan”.

Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan agama mereka dan mengatakan kampanyenya berisiko melegitimasi Islamofobia.

Sumber: BBC News Indonesia