Presiden Minta Tiap Hari Tes PCR 10 Ribu, Realisasi Baru 7 Ribuan

Ilustrasi: Alat Imunoflouresensi Assay yang digunakan di Samarinda. (Foto : istimewa/Dinkes Samarinda)

JAKARTA.NIAGA.ASIA–Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19  menegaskan, terkait tes PCR (polymerase chain reaction), Presiden sudah sejak 2 minggu yang lalu meminta supaya setiap hari untuk melakukan 10 ribu pengambilan spesimen, tetapi kenyataannya data riil sampai dengan saat sekarang ini baru berkisar antara 6 ribu sampai dengan 7 ribu spesimen saja.

”Dan kita lihat di lapangan bahwa salah satu faktornya bukan karena reagen-nya, reagen-nya sudah terdistribusi dengan jumlah yang sangat banyak sudah ratusan ribu, nanti minggu ini akan dilengkapi lagi 500 ribu, jadi total sudah sekitar 1 juta reagen, VTM, dan ekstraksi RNA yang sudah tersedia. Tetapi petugas laboratorium kita jumlahnya terbatas, jadi mereka sehari diharapkan bisa kerja 24 jam ternyata hanya mampu 8 jam saja,” kata Doni saat memberikan keterangan pers usai Rapat Terbatas, Senin (4/5), sebagaimana dikutip situs setkab.go.id.

Jadi kalau nanti kemampuan SDM laboratorium ditingkatkan, lanjut Doni, dan juga dibantu oleh Ikatan Dokter Indonesia yang ada di seluruh daerah, maka diharapkan paling tidak bisa 16 jam. ”Jadi kalau sudah bisa 16 jam dari yang sekarang 8 jam, berarti sudah di atas 12 ribu (spesimen) karena reagen tersedia, kemudian komponen-komponen untuk mendukung tes swab juga semuanya sudah tersedia,” ujarnya.

Soal keterbukaan data, Kepala BNPB sampaikan bahwa data-data yang sudah masuk ke Gugus Tugas sudah terintegrasi, 90% data sudah masuk terintegrasi. ”Adapun kasus-kasus sebelumnya, kasus meninggal status ODP dan PDP ini memang belum semuanya secara resmi dilaporkan. Tetapi mungkin saja nanti akan ada evaluasi dari tim Kementerian Kesehatan dengan tim Gugus Tugas,” katanya.

Menurut Doni, penurunan jumlah kasus yang positif, memang ada tren yang mendatar dan menurun, sementara jumlah spesimen atau jumlah ODP dan PDP yang diperiksa juga mengalami peningkatan.

”Kita masih menunggu beberapa hari ke depan setelah laboratorium ini berfungsi bisa lebih optimal lebih dari 10 ribu, artinya peningkatan laboratorium bisa bekerja selama kurang lebih 16 jam, maka mungkin baru bisa kita ketahui secara lebih pasti lagi daerah mana yang mengalami penurunan secara signifikan, mana yang mendatar, mana yang mungkin mengalami peningkatan,” katanya.

Klaster-klaster yang diwaspadai menjadi episentrum, lanjut Doni, sudah disampaikan ada klaster Gowa, kemudian jemaah tablig, kemudian juga ada pabrik.

”Khusus untuk pabrik ini kami mendapatkan masukan dari daerah sebagian besar masyarakat yang karyawan sudah diistirahatkan. Kemudian sudah dilakukan rapid test secara massal dan ada puluhan orang yang positif, dan ini sudah dilakukan isolasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama dengan tim Gugus Tugas,” ungkapnya.

Jangan sampai dokter kelelahan

Untuk diketahui, Doni sampaikan bahwa jumlah dokter paru adalah 1.973, yang artinya 1 dokter paru harus melayani 1,2 juta warga negara Indonesia, sehingga ketika membiarkan diri sendiri terpapar dan lingkungan juga terpapar, di daerah juga tidak ada dokter paru, sangat terbatas, dan dokter spesialis jumlahnya 34 ribu lebih.

”Nah kita harus jaga jangan sampai para dokter ini kelelahan, para orang dokter ini tidak cukup waktu istirahat sehingga membuat mereka pun menjadi dengan mudah menurun imunitasnya. Kalau para dokter menurun imunitasnya berpotensi terpapar, kalau kita sayang dengan dokter maka kita harus melakukan upaya agar diri kita tidak merepotkan para dokter,” tandas Kepala BNPB.

Ia menambahkan bahwa Dokter dan rumah sakit harus menjadi benteng terakhir bangsa karena jumlahnya yang terbatas. Komponen masyarakat, harus menjadi garda terdepan untuk mencegah jangan sampai terjadi penularan. Dan ini tidak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi oleh segenap komponen bangsa termasuk para akademisi, dunia usaha, komunitas khususnya para tokoh-tokoh masyarakat, budayawan, tokoh-tokoh non formal, sampai ke tingkat RT dan RW.

”Media massa juga harus saling berangkulan, bersatu padu saling mendukung supaya upaya untuk melakukan pencegahan bisa lebih masif lagi,” pungkas Doni. (001)