PT Sebuku Inti Plantation Menangkan Gugatan Tukar Menukar Kawasan

aa
Kabag Ekonomi Setkab Nunukan Muhtar saat menunjukkan peta kawasan perkebunan sawit PT SIP . (Foto Budi Anshori)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Sengketa lahan perkebunan sawit antara PT Sebuku Inti Plantation (SIP) melawan PT Adindo Hutani Lestari (AHL) dan Kementerian Kehutanan, akhirnya ditingkatkan Peninjauan  Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) dimenangkan PT SIP.

“MA dalam putusannya yang dibacakan 9 Maret 2017  mengabulkan gugatan PT SIP. Seluas 5000 hektar luasan izin lokasi SIP sah dan 14.000 hektar lainnya harus diproses Kementerian Kehutanan menjadi  lahan perkebunan melalui proses tukar menukar kawasan,” kata Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Kabupaten Nunukan, Muhtar,SH kepada Niaga.Asia.

PT SIP semula bernama PT Hardaya Inti Plantations (HIP) adalah salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bernaung dalam grup perusahaan milik pasangan suami-istri  pengusaha Murdaya Widyawimarta atau lebih dikenal dengan Poo Murdaya dan Siti Hartati Murdaya.

Saat itu, tahun 2002, karena begitu banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari Malaysia, Bupati Nunukan (saat itu), H Abdul Hafid Ahmad berinisiatif menawarkan  kepada Poo Murdaya membangun perkebunan kelapa sawit sebagai langkah mengantisifasi sekaligus menampung TKI yang jumlahnya ribuan orang di Kabupaten Nunukan.

Tawaran bupati Nunukan disambut positif oleh Poo Murdaya. Selanjutnya Direktur PT Hardaya Inti Plantations (HIP), Ir Totok Lestiyo  mengirimkan surat Nomor 038/HIP.TL/GSIX/02 perihal: Permohonan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit, tertanggal 25 September 2002.

aa
Perkebunan sawit PT Sebuku Inti Plantation di Sebuku, Kabupaten Nunukan. (Foto Budi Anshori)

Surat tersebut  dijawab Bupati Nunukan melalui surat Nomor: 525.26/390/Ek.Proda/ XIl/2002, perihal: Persetujuan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP tertanggal 23 Desember 2002.  Pada 27 Januari 2003, keluarlah keputusan Bupati Nunukan Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pemberian Ijin Lokasi untuk Keperluan Perkebunan Kelapa Sawit Seluas 20.000 Hektar kepada HIP di Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan.

Selanjutnya, Direktur PT HIP, Totok Lestiyo pada 7 Nopember 2003 mengirimkan surat Nomor 008/HIP-NNK-GSIX/2003, perihal permohonan perubahan ijin lokasi bersamaan nama perusahaan berubah menjadi PT Sebuku Inti Plantation (SIP). Menjawab surat itu, setahun kemudian, Bupati Nunukan pada 26 Nopember 2004 menerbitkan persetujuan dengan  Keputusan Bupati Nunukan Nomor 794 tahun 2004, dimana luas dan lokasinya tetap sama.

Dalam perjalanan operasinya membuka lahan untuk kelapa sawit seluas 2.615 hektar, PT SIP diduga melakukan penebangan kayu dalam kawasan budidaya kehutanan atau hutan produksi, padahal saat itu perusahaan tidak memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Selain itu, saat melakukan aktifitas pembukaan lahan, PT SIP belum memiliki mengantongi izin  pelepasan kawasan hutan dari Departemen Kehutanan, atau dengan kata lain SIP melanggar  Pasal 50 ayat (3) huruf (a) Jo Pasal 78 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Tidak hanya itu,  PT SIP juga sempat diklaim oleh PT Adindo Hutani Lestari (AHL)  telah mengambil atau tumpang tindih dengan areal HTI (Hutan Tanaman Industri)-nya seluas 3.375 hektar. PT SIP juga disebut membuka kebun sawit di lahan  9.750 hektar  tanpa dibekali ijin dari Kehutanan.

Klaim lahan yang diajukan AHL menyebabkan SIP kesulitan dalam  kegiatan perkebunan. Seiring waktu, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan surat tukar menukar Kawasan Hutan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Nunukan tertanggal 6 Juni 2007.

Permintaan Kementerian Kehutanan ditanggapi oleh PT SIP dengan mengajukan tukar menukar kawasan hutan. Namun  ditolak  Kementerian Kehutanan melalui surat Nomor: S.321/ Menhut-VII/KUH/2013 tertanggal 18 Maret 2013 dengan alasan, areal tersebut berada dalam kawasan hutan produksi.

Atas penolakan itu, PT SIP mengajukan gugatan kepada PT AHL dan Menteri Kehutanan RI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta. Hasilnya tanggal 2 Desember 2013 PTUN Jakarta dalam putusannya mengabulkan gugatan PT SIP dan mewajibkan pencabutan Surat Nomor Menhut-VII/KUH/2013 dan mewajibkan Kemenhut memproses permohonan tukar menukar kawasan 2.615 hektar.

Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta tanggal 11 Juni 2014  menguatkan putusan PTUN Jakarta. Merasa tidak puas dengan hasil putusan, PT Adindo dan Kemenhut mengajukan Kasasi yang hasilnya, Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 2015 mengabulkan permohonan kasasi serta membatalkan putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta yang menguatkan Putusan PTUN Jakarta.

Kemudian SIP mengajukan PK (Peninjauan Kembali) ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya 9 Maret 2017, mengabulkan permohonan PK dari  PT SIP dan membatalkan putusan Kasasi Mahkamah Agung. “Putusan PK MA itu memberikan kekuatan hukum bahwa perkara antara PT SIP dengan AHL dan Kemenhut  sudah selesai, begitu juga dengan tukar menukar kawasan antara perusahaan dengan Kemenhut,” kata Kepala Bagian Ekonomi Setkab Nunukan, Muhtar SH kepada Niaga.Asia.

Dengan demikian  5.000 hektar dari 19.000 hektar yang disengketakan sah dalam ijin lokasi PT SIP. “Sisanya 14.000 hektar belum disahkan dalam kawasan perkebunan PT SIP, diselesaikan melalui tukar menukar kawasan dengan Kemenhut sesuai dengan putusan MA tertanggal 9 Maret 2017,” ujar Muhtar.

aa
Abdul Wahab Kiak. (Foto Budi Anshori)

Mantan Anggota DPRD Nunukan, Abdul Wahab Kiak yang kini aktif mencermati kebijakan pemerintah menyebut tumpang tindih kawasan perkebunan dengan hutan industri dan hutan produksi seperti yang terjadi antara SIP, AHL, dan Kementerian Kehutanan di Kabupaten Nunukan sangat banyak, termasuk persoalan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang di perusahaan tak dijalankan karena tak mempunyai tenaga ahli.

“Persoalannya dulu adalah perusahaan sudah membuka lahan duluan, padahal Amdalnya belum disahkan, sehingga menerabas kemana-mana, menerabas ke hutan industri yang juga ada pemiliknya, menerabas ke hutan adat, hutan masyarakat, maupun hutan produksi,” kata Wahab.

Ia memperkirakan, meski PT SIP sudah menangkan gugatan ditingkat PK, tidak otomatis semuanya akan bebas dari masalah sebab konflik dengan masyarakat secara terbuka, maupun dampak lingkungannya akan muncul ke permukaan dengan sendirinya. (002)