
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Embun subuh kala itu turun dengan perlahan, bulir-bulirnya yang sejuk menyelimuti pepohonan, tanaman dan deretan atap rumah di Samarinda. Jarum jam baru menunjukkan pukul lima pagi, sebagian besar warga masih terlelap dan kota ini belum sepenuhnya terjaga.
Namun di atas dak sebuah rumah sederhana di kecamatan Sambutan, Maria Gaudensia Asri justru sudah memulai aktivitas hariannya. Ibu rumah tangga berusia 49 tahun tersebut tampak sibuk menata dan memanen sayuran hijau yang tumbuh rapi di hadapannya.
Ia tampak cekatan memanen sawi samhong dan selada dari instalasi hidroponik yang telah dikelolanya selama hampir 1 tahun itu. Satu per satu sayuran hijau pun dipetik dengan hati-hati, langsung dari media tanam berbasis air, tumbuh bersih tanpa sentuhan tanah.
Maria memanfaatkan dak rumahnya di lantai tiga berukuran 11×14 meter yang sebelumnya hanya difungsikan sebagai tempat menjemur pakaian dan menyimpan barang. Dari ruang sederhana itulah, ‘Asri Jaya Hidroponik’ mulai beroperasi menjadi usaha kecil yang perlahan-lahan tumbuh dan menghadirkan sumber penghasilan tambahan bagi keluarganya.
Setiap pagi di kala masa panen, Maria dapat memetik hasil dari ratusan lubang tanam yang dikelolanya. Tanaman sawi samhong memiliki masa panen sekitar 30 hari, sementara selada membutuhkan waktu hingga 40 hari lamanya. Dalam satu tahun terakhir, ia telah melakukan panen sebanyak tujuh kali.
Sayuran hasil panen itu kemudian dia kemas dalam dua ukuran. Untuk kemasan 350 gram dijual seharga Rp10.000, sedangkan ukuran 250 gram dibanderol Rp7.000 per bungkus.
“Kita jual yang masih segar-segar baru panen,” ujarnya pada Niaga.Asia, Senin (15/12/2025).
Selain menjual secara langsung dan melalui media online, ia juga aktif mengikuti berbagai pameran yang diselenggarakan pemerintah. Maria mengaku telah terdaftar sebagai petani binaan di Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Kalimantan Timur (Kaltim).
Setiap pameran, ia biasanya membawa kira-kira sekitar 20 bungkus kemasan besar dan 15 bungkus kemasan kecil. Jika stok kurang, ia memilih kembali ke rumah untuk memanen ulang demi menjaga sayurnya tetap fresh.
“Sayur hidroponik enggak bisa disimpan lama karena tumbuhnya di air,” katanya.
Karena itu lanjut Maria, proses panen hingga pengemasan selalu dilakukan pada hari yang sama. Ia bahkan terbiasa bangun sejak subuh dan mengemas hasil panen seorang diri hingga pagi hari sekitar pukul 07.00 WITA.
“Kalau ada yang mau pesan, bisa langsung hubungi WA saya, 08115044461,” bebernya.


Dalam menjalankan usaha kecilnya, Maria menggunakan sistem hidroponik rakit apung, bukan pipa seperti yang umum digunakan. Di area seluas 7×10 meter, terdapat kurang lebih 1.200 lubang tanam yang ditanami selada dan sawi samhong.
“Nggak butuh lahan berhektare-hektare, saya hanya memanfaatkan tempat yang ada saja, atap rumah, kan namanya tanaman hidroponik memang begitu, simple” jelasnya.
Perawatannya kata Maria, relatif sederhana. Hanya dengan nutrisi AB Mix yang dilarutkan ke dalam air tanpa penggunaan pupuk tanah maupun insektisida.
“Nggak ribet juga perawatannya. Nggak perlu pakai pupuk, dikasih nutrisi saja. Tanpa pakai obat insektisida. Ya, jadi sayuran sehat banget ini,” tukasnya.
Usaha hidroponik ini mulai dirintis Maria sejak Januari 2025. Keputusan itu lahir dari situasi keluarga. Sang suami, mantan karyawan FIF Group yang sering berpindah-pindah tugas ke Sulawesi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, telah memasuki masa pensiun.
“Suami pensiun, ya mikirlah gimana caranya supaya ada penghasilan tambahan, akhirnya ketemu ini yang cocok ya dijalani. Lumayan hasilnya. Daripada uang pesangon habis gitu-gitu saja. Kalau dijadikan begini kan ada terus dia berputar,” tuturnya.
Modal awal yang dikeluarkan pun tidak kecil. Karena kebun berada di atap rumah, Maria harus membangun konstruksi dengan tiang holo, atap UV, serta jaring insektisida di sisi kiri dan kanan.
Total biaya mencapai Rp50–60 juta, termasuk ongkos tukang. Namun ia memperkirakan, jika dibuat di lahan biasa, modalnya bisa ditekan hingga sekitar Rp30 juta. Kini, setelah hampir setahun berjalan, usaha kecil-kecilannya ini mendekati titik balik modal.
“Dari satu kali panen, omzet yang diperoleh bisa mencapai Rp7 juta, dengan keuntungan bersih Rp6 juta setelah dikurangi biaya listrik dan operasional lainnya. Hampir-hampir balik modal kalau dihitung-hitung ya,” terangnya.
Ilmu hidroponik dia dapatkan dari keluarga yang mengikuti pelatihan di DPTPH Kaltim dan iseng-iseng belajar secara mandiri lewat YouTube. Seiring waktu, pemahamannya terus berkembang melalui pengalaman dan praktik sehari-hari yang dijalaninya secara otodidak.
“Saya lihat adik ikut pelatihan, ternyata bagus. Saya coba, eh bisa, mudah,” ungkapnya sambil tersenyum.

Selain bertani, Maria ternyata juga dikenal sebagai guru les baca tulis di rumahnya. Aktivitas mengajar biasanya ia lakukan pada pagi hingga siang hari, sementara perawatan tanaman dilakukan pada sore dan malam.
“Nanamnya kan malam, nambah nutrisi dan air juga malam. Kalau pagi paling perhatikan lampu aja. Terus kan nggak nyiram, nggak ada apa-apa lagi, cuman ngeliatin serangga saja kalau masuk. Kalau ada serangga seperti lalat buah nggak boleh, itu hamanya,” tegasnya.
Bagi Maria, hidroponik bukan sekadar usaha menambah penghasilan, tetapi juga sebagai bentuk memanfaatkan ruang seadanya dan waktu secara produktif. Dari atap rumah yang sederhana, ia membuktikan ‘keterbatasan lahan’ bukanlah penghalang untuk berkarya.
Pengalaman memulai usaha di usia yang tidak lagi muda ini memberinya pelajaran berharga yang ingin dia bagikan kepada generasi muda. Maria menilai, banyak anak muda sebenarnya memiliki peluang lebih besar karena masih memiliki waktu dan tenaga, namun sering kali ragu untuk melangkah.
“Kalau masih muda itu jangan kebanyakan mikir takut gagal, kadang-kadang kan anak muda begitu. Mulai aja dulu, kecil enggak apa-apa,” ulasnya.
Menurut Maria, rasa malu dan gengsi kerap menjadi penghambat seseorang berkembang, padahal setiap usaha membutuhkan proses. Ia menegaskan bahwa memulai lebih awal akan memberi ruang untuk mencoba, salah, lalu bangkit kembali.
“Lebih enak jatuh bangunnya kalau masih muda. Masih bisa coba lagi, cari lagi yang cocok,” pesannya.
Kisah hidupnya ini membuat Maria ingin anak muda berani melihat peluang di sekitarnya, sekecil apa pun itu. Usaha kata dia, tidak harus langsung besar, yang terpenting adalah konsistensi dan kemauan untuk terus belajar.
“Enggak ada kata terlambat. Yang muda-muda, jangan malu mulai sedikit-sedikit. Kalau sudah ketemu yang cocok, jalani saja,” paparnya.
Untuk diketahui, wanita kelahiran Flores ini merupakan lulusan Akuntansi di Universitas Widyagama Samarinda. Ia pernah berjualan ayam goreng, kini bertani hidroponik, sambil tetap menjadi guru les.
“Pesan saya untuk generasi penerus, kuliah. Jangan sampai nggak kuliah. Sambilan juga bangun usaha sedari masih muda,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: HidroponikPertanian