Reposisi Organisasi Perlu Dipertimbagkan jadi Program Utama Pengurus PWI Periode 2025-2030  

Oleh: Intoniswan

*) Penulis  adalah Ketua DK PWI Provinsi Kalimantan Timur Periode 2024-2029 dan Pemimpin Redaksi Media Online Ekonomi dan Bisnia Niaga.Asia

Intoniswan

 Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) paska reformasi seperti ayam berjalan tanpa kepala, tidak begitu jelas arah dan tujuan, hanya sekedar ada, tapi tak jelas kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahkan sejak dalam 15 tahun terakhir, hanya tenggelam dalam kegiatan melaksanakan UKW (Uji Komptensi Wartawan), dan mengabaikan upaya peningkatakan pemahaman pengurus dan anggota akan PD/PRT PWI, Kode Etik Jurnalistik, dan Kode Perilaku Wartawan PWI.

Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari adalah, PWI kehilangan jati diri, kehilangan wibawa, tidak lagi  ada penghargaan dari komponen negara, tak ada lagi pemikiran cemerlang dari wartawan yang layak dipertimbangkan pemerintah jadi variabel ketika mengambil keputusan.

Melihat kondisi demikian, maka mereposisi organisasi perlu dipertimbangkan jadi program utama/prioritas pengurus PWI Periode 2025-2030, Akhmad Munir sebagai Ketua Umum PWI Pusat dan Atal S Depari sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Melakukan reposisi organisasi dapat diartikan mengembalikan posisi organisasi ke tujuan awal dibentuknya. 

Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk pada 9 Februari 1946 di Surakarta sebagai wadah perjuangan wartawan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia dari upaya penjajahan kembali, serta untuk membangun pers yang profesional dan bermartabat.

PWI lahir dari semangat kebangsaan pasca-proklamasi kemerdekaan dan berfungsi sebagai tempat menyuarakan aspirasi rakyat serta memperkuat peran pers sebagai pilar demokrasi.

Dalam konteks kekinian,  wartawan PWI seharusnya berada di garda terdepan menentang penjajahan ekonomi dan penindasan demokrasi yang dilakukan oligarki (pengusaha-rezim pemerintah) yang terbukti hanya menambah penderitaan rakyat dan menguras sumber daya alam.

Wartawan PWI melalui tulisannya seharusnya menjadi pionir dalam membangun kesadaran bangsa, mencerdaskan bangsa, melawan kesewenang-wenangan Negara, melawan korupsi, menjadi contoh bagaimana membangun solidaritas antar jurnalisWartawan: PWI dibentuk untuk menjadi wadah solidaritas bagi para jurnalis agar dapat bergandengan tangan dalam upaya membangun pemberitaan yang mendidik.

PWI perlu memperbanyak kegiatannya yang memberi kontribusi melalui anggotanya agar terbangun Pers yang Profesional, Independen, dan Bermartabat. Memperbanyak kegiatan yang hasilnya bisa diserahkan kepada pemerintah dalam memajukan bangsa. Menyuarakan aspirasi rakyat/masyarakat melalui tulisan tanpa rasa takut, dan memperkuat kembali posisi Pers sebagai Pilar Demokrasi.

Membangun Soliditas 

Persoalan lain di tubuh PWI yang belum terselesaikan adalah tidak harmonisnya hubungan  antara pengurus PWI Pusat dengan Pengurus Dewan Kehormatan, baik di pusat maupun di daerah-daerah, dan kurangnya penghargaan pengurus PWI Pusat terhadap pengurus PWI Provinsi, apalagi dengan pengurus PWI Kabupaten/Kota.

Dari itu, ke depan, Pengurus PWI 2025-2030 perlu membangun soliditas antar unit-unit organisasi dalam tubuh PWI itu sendiri, seperti antara pengurus PWI Pusat dengan Pengurus Dewan Kehormatan, pengurus PWI Provinsi dengan Dewan Kehormatan Provinsi, misalnya semua kegiatan PWI melibatkan DK, walau hanya menempat DK sebagai pengarah dalam kegiatan PWI.

Keberadaan organisasi PWI yang sekarang ini sampai ke tingkat Kabupaten/Kota, selain membuat organisasi PWI menjadi yang terbesar dibandingkan organisasi wartawan lainnya, tapi juga rawan perpecahan, rawan konflik, baik di tingkat kabupaten/kota, hingga merembes ke PWI Provinsi.

Untuk menjaga soliditas organisasi di organisasi PWI yang tengah berkembang, sangat penting PWI Periode 2025-2030 punya program peningkatan kapasitas pengurus di semua tingkatan agar punya pemahaman yang sama akan PD/PRT, dan mengelola organisasi sesuai PD/PRT.

PWI Pusat perlu membuat program pelatihan, program peningkatan capacity building bagi pengurus organisasi di semua tingkatan, agar didapat anggota yang jadi generasi penerus dalam mengelola organisasi, tidak menjalan kepemimpinan dan organisasi berdasarkan pengalaman, bisik-bisik senior, tapi tak sesuai PD/PRT PWI.

Kaji ulang proses rekrutmen 

Proses rekrutmen keanggotaan di PWI sejak 15 tahun terakhir ini dapat dikatakan tanpa seleksi sebab, karena beralih menggunakan persyaratan lulus UKW. Siapa saja yang sudah lulus UKW diterima jadi anggota PWI, bahkan wartawan yang lulus UKW yang diselenggarakan otomatis jadi anggota PWI.

Proses rekrutmen seperti itu, membuat PWI dapat anggota baru yang “semu”, seolah-olah wartawan itu anggota PWI, tapi sebetulnya, hatinya tidak di PWI. Ini telah mengacaukan kualitas organiasi di daerah, dikira wartawan itu pikiran dan hatinya di PWI, padahal sebetulnya dia ingin jadi wartawan tanpa organisasi.

Apabila proses rekrutmen keanggotaan PWI sekarang ini diteruskan, ini bisa menjadi bumerang bagi organiasi PWI yang sejatinya adalah organisasi Profesi, hanya butuh orang-orang profesional,  meski dalam jumlah yang sedikit.

Untuk mendapatkan anggota berkualitas dan ujungnya bisa jadi pengurus PWI yang berkualitas, proses rekrutmen perlu dikaji ulang, bahkan lebih tepatnya dikembalikan ke model rekrutmen lama. Seorang wartawan baru bisa menjadi anggota PWI setelah melalui proses jadi Calon Anggota selama 2 tahun. Kemudian baru bisa jadi anggota biasa setelah lulus ujian PD/PRT PWI, Kode Perilaku Wartawan, PWI, dan Kode Etik Jurnalistik, setya ujian membuat berita yang baik dan benar.@

Tag: