Rombongan Anak PMI Pelajar Program Repatriasi Jalani Karantina 7 Hari di Nunukan

Anak PMI peserta program repatriasi menunggu keberangkatan di pelabuhan Tawau, Malaysia (foto Istimewa/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2PMI) bersama Pemerintah Nunukan, telah menyiapkan Rusunawa di Nunukan sebagai lokasi karantina bagi 161 anak PMI selama 7 hari.

“Kedatangan anak-anak PMI ini untuk mengikuti program repatriasi pendidikan di Indonesia,” kata Sub Koordinator Perlindungan dan Penempatan UPT BP2MI Nunukan, Arbain pada Niaga.Asia, Rabu (09/02/2022).

Sebelum diarahkan ke lokasi karantina, rombongan program repatriasi yang terdiri 161 pelajar dan 3 orang guru pendamping diharuskan mengikuti skrining deteksi awal berupa tes PCR dan pemeriksaan kesehatan.

Selama berada dikarantina Rusunawa, seluruh kebutuhan hidup rombongan repatriasi menjadi tanggungjawab Pemerintah Nunukan. Jika dari rombongan terdapat hasil PCR/Antigen positif, tentu dilakukan penanganan khusus.

“Pemeriksaan PCR dan kesehatan di pelabuhan Tunon Taka, jika ada hasil positif langsung di geser ke tempat khusus,” bebernya.

Dalam menangani pelajar repatriasi, BP2MI dan Pemerintah Nunukan, akan memberlakukan aturan ketat tidak berbeda dengan deportasi PMI. Kebutuhan makan maupun kesehatan ditanggung pemerintah.

Arbain menerangkan, pengiriman program repatriasi pendidikan anak-anak PMI Malaysia, melalui pelabuhan Tunon Taka Nunukan, adalah yang ketiga kalinya, dimana tahun 2021 jumlah peserta sebanyak 410 orang.

“Repatriasi adalah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bersama KRI Tawau dan KJRI Kota Kinabalu serta Sekolah Indonesia yang sudah berjalan 3 tahun,” ujarnya.

Cerita Alumni Program Repatriasi Berhasil Lulus S1

Selain disambut Pemerintah Nunukan, kedatangan pelajar program repatriasi anak PMI diterima Yayasan Sabah Bridge (SB) yang selama ini berperan sebagai inisiator kegiatan.

Salah seorang pengurus Yayasan Sabah Bridge, Azwan (22) yang juga mantan peserta program repatriasi adalah contoh anak PMI yang berhasil menyelesaikan pendidikan SMA di Indonesia dan melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Orang tua saya pekerja ladang sawit Sabah, Malaysia. Lulus sekolah CLC mengikuti program repatriasi di Indonesia,” ucapnya.

Berkat tekad dan kegigihannya, Azwan menyelesaikan pendidikan SMA di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dan melanjutkan pendidikan di Universitas Nasional Yogyakarta (UNY) dengan fasilitas beasiswa Pemerintah Indonesia.

Orang tua Azwan buruh kebun sawit sejak tahun 1978 yang bekerja di Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Azwar merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, kedua orang tuanya tidak mengenyam pendidikan.

“Bapak dan ibu saya buta huruf, tapi beliau taat administrasi memperhatikan dokumen kependudukan untuk anaknya, kami semua punya KTP dan surat lahir Indonesia,” tuturnya.

Lari dan masuk ke hutan menghindari pemeriksaan paspor aparat keamanan Malaysia, sudah menjadi hal biasa, puluhan rombongan PMI kabur masuk kebun-kebun sawit dan kondisi ini tidak hanya sekali.

Minim fasilitas kesehatan dan pengetahuan menjadi gambaran buruk bagi anak PMI, tidak sedikit anak – anak dilahirkan tanpa penanganan dokter ataupun bidan bahkan dukun melahirkan.

“Saya lahir tanpa bidan dan dokter, ibu saya melahirkan ditemani bapak dan apa dilakukan saat itu seadanya,” katanya.

Meski lahir dari anak PMI, Azwan memiliki keinginan kuat untuk belajar dan bersekolah, keinginan itu muncul ketika melihat anak-anak Malaysia,A bisa dengan mudah bersekolah dan memiliki sarana pendidikan yang layak.

Disela-sela keinginan bersekolah, Azwan membantu orang tuanya memungut buah sawit, dari hasil kerjanya itulah, dia membeli laptop seharga 1.700 Ringgit Malaysia. Memiliki perangkat elektronik ini membuat dirinya semakin terobsesi belajar.

“Lektop itu sangat berkesan, saya masih simpan karena barang itu hasil upah kerja. Sekarang saya masuk Yayasan Sabah Bridge membantu anak PMI bersekolah,” tutupnya.

 Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: