Rumah Walet Menjamur di Nunukan, Perlu Diatur Perda

burung
Bangunan untuk burung walet bersarang. (budi anshori)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA- Keberadaan bangunan sarang walet di Nunukan seperti jamur dimusim hujan, tumbuh dimana-mana di permukiman penduduk dan kini mendapat protes dari masyarakat. Warga protes karena rekaman suara burung walet di rumah walet menimbulkan kebisingan.

“Kondisi demikian bisa menimbulkan konflik di masyarakat, karena masyarakat semakin merasa terganggu, apa lagi bersebelahan dengan bangunan srang burung walet. Sudah saatnya diatur dengan peraturan daerah (Perda),” kata Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD Nunukan, Markus pada Niaga.asia, Rabu (21/3).

Menurutnya, karena Pemkab Nunukan sepertinya belum siap mengajukan rancangan perda, maka DPRD yang akan mengajukan, menjadi perda inisiatif. Perda perlu agar ada batasan yang jelas dimana bangunan sarang burung walet boleh dibangun dan apa syarat-syaratnya, dan hal teknis lainnya juga perlu diatur. “Bunyi suara rekaman pemanggil burung juga perlu diatur supaya tidak menganggu ketertiban umum,” kata Markus. “Kita usahakan tahun ini perda itu bisa selesai,” tambahnya.

Dalam Raperda rumah walet, DPRD akan menyertakan  pengaturan  volume suara  dan seberapa jauh jarak bangunan rumah walet dari rumah warga. Kemudian, lanjut Markus, Raperda juga membahas perihal berapa besar retribusi  dari setiap kilo sarang burung walet harus dibayar pengusaha ke daerah.

Selama ini pungutan retribusi yang diambil pemerintah hanya pengacu pada  Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 41 tahun 2013.  Permentan itu tidak membahas secara rinci, dari itu perlu disempurnakan dengan perda agar sesuai dengan kondisi daerah. “Kami berinisiatif membuat peraturan yang lebih spesifik dan ramah lingkungan,” katanya.

Kemudian, kata Markus, rumah burung walet mengandung bakteri , dari itu perlu dipikirkan bersama bagaimana mengaturnya agar  kuman-kumannya tidak menggangu kehidupan masyarakat di sekitarnya. “Ini soal keadilan dan soal kepentingan semua pihak, Perda dibuat melindungan masyarakat dan melindungan orang lain,” bebernya.

Menjamurnya rumah walet di Kabupaten Nunukan diakui membawa imbas baik bagi ekonomi masyarakat, harga jual sarang walet yang tinggi berkisar Rp 12 juta hingga mencapai 16 juta per kilogram menjanjikan keutungan besar. Karena  itu  warga rame-rame membangun rumah walet dari kayu  maupun beton. Bahkan ada hotel di Nunukan dan Sebatik berubah jadi sarang walet, begitu juga rumah tinggal dijadikan rumah walet. “Walet lagi buming, pemerintah bisa menjadikan usaha itu sebagai bagian dari pendapatan retribusi daerah sekaligus menertibkan bangunannya,” kata Markus. (002)