Rumput Laut Turun Harga Lagi, Petani Diminta Perbaiki Mutu

Petani rumput laut di Jalan Tanjung Nunukan sedang menjemur hasil penen (foto : Niaga Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Sempat naik harga pada awal tahun 2019 dikisaran Rp 22.500 per kilogram kering, komoditi andalan usaha warga masyarakat Nunukan yakni rumput laut, kembali tergerus turun di harga Rp 19.000 per kilogram dalam dua bulan terakhir ini.

Penurunan harga rumput laut dipandang hal biasa terjadi setiap tahun menjelang Ramadan dan lebaran. Faktor lainnya juga disebabkan minimnya permintaan dari pembeli di luar negeri, maupun dalam negeri.

“Ada penurunan harga di dua bulan terakhir dan ini terjadi hampir disemua daerah,” kata Ketua Asosiasi Pedagang Rumput Laut Nunukan, Udin, Selasa (30/4/2019).

Harga rumput laut secara garis besar dipengaruhi harga dunia. Jika permintaan mereka naik, otomatis harga naik. Sebaliknya, harga akan merangkak turun bersamaan turunnya pembelian rumput laut di luar negeri.

Selain harga dunia, rumput laut Nunukan sering kali dikeluhkan dalam hal kekeringan dan kotoran yang masih tersisa di rumput laut itu sendiri. Kualitas kekeringan rumput laut di Nunukan berkisar 45-46, berbeda dengan di Sulawesi kekeringan 35-36. “Soal kekeringan selalu jadi keluhan. Belum lagi rumput laut Nunukan masih berlumut, makanya permintaan menurun,” ujar Udin.

Dengan persoalan kekeringan dan lumut, produksi rumput laut Nunukan ke Sulawesi dan Surabaya yang sebelumnya mencapai 3.000 ton per bulan, turun sekitar 2.000 ton per bulan. Penurunan disebabkan juga berhentinya budidaya rumput laut masyarakat di kawasan perairan Malaysia.

Pembudidaya warga Tanjung Nunukan memiliki pondasi rumput laut sampai 50.000 bentangan. Dengan adanya larangan oleh Malaysia, petani menghentikan penanaman dikarenakan Polisi Diraja Malaysia turun melakukan operasi penangkapan.

“Dulu mereka tanam rumput di kawasan perairan Malaysia. Nah sejak dilarang, petani menghentikan usaha dan kabarnya pindah ke tanjung haus, sebagian pindah ke Mamuju, Sulawesi Selatan,” terangnya.

Meski mengalami penurunan harga, Udin meyakini harga terendah akan mentok dikisaran Rp 15.000 per kilogram kering. Namun apabila harga itu ingin dipertahankan, petani harus menjaga mutu kekeringan dan lumut yang masih mengganggu.

Asosiasi rumput laut, lanjut Udin, selalu mengingatkan petani Nunukan menghilangkan kandungan lumut. Sebab, pembeli mengalami kerugian sekitar 20 persen atau sekitar Rp 3.000 per kilogram kering. Karena itulah, pembeli berspekulasi menurunkan harga. “Semuanya tergantung dari kita. Kalau mau harga tinggi perbaiki mutu. Sebaliknya jangan mengeluh harga turun kalau kita belum mampu memberbaiki mutu,” ujarnya.

Satu hal kekurangan rumput laut Nunukan adalah, hasil produksi tidak bisa langsung bisa diproses untuk ekspor ke luar negeri. Pembeli atau penampung, harus membersihkan kembali kandungan lumut. Kondisi ini tidak terjadi dengan rumput laut Sulawesi. Dimana, setelah dibeli langsung ekspor.

“Di Sulawesi habis panen, jemur bisa langsung di ekspor. Barang Nunukan harus diproses pembersihan lagi, tambah lagi biaya dan waktu,” demikian Udin. (002)