RUU Omnibus Perpajakan: Atur Hak Mengkreditkan Pajak Masukan

aa
Ilustrasi

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Bagian lain dari RUU Omnibus Perpajakan  ini juga mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi pengusaha kena pajak. Ini terutama pengusaha kena pajak yang memperoleh barang ataupun jasa, namun dari pihak yang bukan merupakan pengusaha kena pajak, selama ini mereka tidak bisa melakukan pengkreditan.Di dalam undang-undang ini nanti diusulkan  agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut maksimal 80%.

“Ini yang merupakan sesuatu yang kita masukkan sebagai sesuatu yang baru, sehingga merupakan suatu insentif dan kemudahan bagi para pengusaha yang selama ini membeli barang dan jasa,” kata Menkeu, Sri Mulyani Indrawati kepada wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas Mengenai Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/11) sore, dilaporkan situs setkab.go.id.

baca juga:

Susun RUU Omnibus Perpajakan, Pemerintah Siapkan Insentif

Untuk bagian keenam adalah mengenai sanksi di dalam RUU ini, Menkeu mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran penerimaan pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan.

“Kita akan mengubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan sekarang ini dan dibagi berdasarkan berapa lama mereka, dengan tentu saja memberikan perhatian bahwa sanksi tersebut adalah dianggap adil karena sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku sekarang ini dengan suku bunga yang rendah tentu akan memberikan keuntungan bagi mereka untuk bisa komplain lebih baik,” kata Menkeu.

Tujuannya adalah untuk para wajib pajak untuk dapat meningkatkan complaints-nya dan mereka bisa menghitung sanksi administrasinya secara lebih rasional, dan oleh karena itu kemudian bisa menciptakan kultur komplain yang lebih baik.

Bagian yang ketujuh adalah mengenai pengaturan ulang dari sanksi dimana pemerintah mengambil dan oleh karena itu harus diberikan kompensasi imbalan bunga yang akan dibayarkan oleh pemerintah, juga mengikuti suku bunga yang berlaku.

“Jadi tidak lagi mengikuti 2% per bulan. Maksimum 24 bulan, seperti yang selama ini diatur di dalam RUU KUP kita,” terang Menkeu.

Kemudian untuk bidang yang berhubungan dengan pemajakan atas perdagangan sistem elektronik, di dalam RUU ini pemerintah akan menyampaikan bahwa subjek pajak luar negeri ya seperti ini seperti Netflix dan yang lain-lain, yang selama ini merupakan subjek pajak luar negeri, dapat memungut dan menyetor dan melaporkan PPN-nya.

“Jadi walaupun mereka tidak beroperasi, tidak berada di Indonesia, namun dia memiliki aktivitas yang menghasilkan pendapatan di Indonesia, mereka tetap bisa dan menjadi subjek pajak luar negeri yang memiliki kewenangan untuk memungut dan kemudian menyetor dan melaporkan kepada otoritas pajak disini,” jelas Menkeu.

Menkeu enambahkan, ini dalam rangka untuk menghindari transaksi-transaksi elektronik yang selama ini tidak kemudian karena tidak ada keberadaannya di Indonesia, sehingga pemerintah mengalami kesulitan untuk memungut pajaknya.

Kemudian untuk pengenaan pajak penghasilan atau pajak transaksi elektronik yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, menurut Menkeu, diatur ketentuan badan sebagai BUT yang berdasarkan sumber penerimaan pajak di sini atau yang disebut economic presents-nya bukan berasal dari sisi tempat mereka atau phisycal presents-nya.

“Jadi walaupun mereka tidak secara fisik ada di sini, namun karena kegiatannya menghasilkan nilai ekonomi, itulah yang diatur sebagai basis untuk perpajakannya dan dalam hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah,” jelas Menkeu.  (001)

Tag: