Saat “Perang” Dagang, Ekonomi Kaltim Ikut Tergencet

aa
Gubernur Kaltim, H isran Noor bersama peserta Rapat Koordinasi Perbankan se-Kaltim, Selasa (26/2). (Foto Intoniswan)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Saat “perang” dagang tengah berlangsung di Eropa dan antara China dengan Amerika Serikat, ekonomi Kaltim ikut tergencet. Hal itu terjadi karena permintaan akan komoditi ekspor andalan Kaltim CPO (crude oil palm) terhambat masuk ke Eropa, sedangkan permintaan batubara dari China menurun.

“Saat  CPO sulit masuk ke pasar Eropa, harga kelapa sawit di petani anjlok. Saat pemintaan batubara dari China menurun, harga anjlok. Keduanya membuat perekonomian  Kaltim juga menjadi lesu,” kata Gubernur Kaltim, Dr. Ir. H Isran Noor, M.Si dalam Rapat Koordinasi Bank Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan Perbankan se-Kaltim di Kantor Bank Indonesia Perwakilan Kaltim, Selasa (26/2). Hadir dalam rapat tersebut Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kaltim, Muhamad Nur, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan Kaltim, Dwi Ariyanto dan pimpinan bank swasta dan pemerintah se-Kaltim.

Gubernur Kaltim: Harga Ayam Mahal karena Permainan Pengusaha

Menurut Isran, komoditi ekspor berupa CPO Kaltim setahun sekitar 3 juta ton. Ekspor CPO Indonesia ke Eropa sekitar 30% dari total ekspor ke pasar dunia. Saat CPO diembargo masuk pasar Eropa karena isu lingkungan, dampaknya adalah harga tandan buah segar sawit di Kaltim anjlok. “Meski dari ekspor CPO tak ada yang masuk ke kas daerah, tapi saat harga jatuh, ekonomi petani sawit sangat terpukul,” ucapnya.

Ekspor CPO ke pasar Eropa sebesar 30% yang diembargo itu memerlukan pasar baru. Pemerintah perlu mencarikan pasar baru di Asia, misalnya ke India, China, atau Jepang. Atau ada proses hilirisasi produk CPO. Supaya Kaltim mendapatkan nilai tambah dari hilirisasi CPO, industrinya harus dibangun di Kaltim, bukan di luar Kaltim.

“Sekarang CPO Kaltim diolah jadi beberapa produk turunan di Bitung, Dumai, dan lainnya,” kata gubernur. “Tahun 2020 produk CPO yang dihasilkan perkebunan sawit di Kaltim akan menembus angka 4 juta ton,” ungkapnya.

Sebelum harga CPO jatuh,  pemerintah pusat mengenakan pungutan ekspor tas CPO sebesar 50 US$ per metrik ton, dan pungutan itu akan diberlakukan lagi setelah harga CPO membaik, tapi Kaltim tidak mendapatkan bagian dari pungutan tersebut. “Kalau kebagian, sangat lumayan jumlahnya masuk ke Kaltim, hitungannya 3 juta ton dikalikan 50 US$. Berapa itu, ya sekitar 150 juta US$,” kata Isran.

Kemudian untuk komoditi batubara, kata gubernur, sama halnya. Saat industri di China stagnan akibat perang dagang dengan AS, ekspor batubara Kaltim ke China menurun, termasuk harganya. Dampaknya adalah perekonomian Kaltim lesu. Aktifitas tambang berhenti, perputaran uang di dalam daerah juga mengecil. “Itulah resiko yang kita hadapi. Komoditi ekspor kita kurang beragam,” ujarnya.

Dikatakan Isran, hingga saat ini Kaltim mempunyai komoditi sawit dan batubara sebagai pengganti penggerak ekonomi daerah. Mau mengandalkan potensi pariwisata dan pertanian, masih dalam tahap pengembangan dan belum ditopang infrastruktur yang memadai. “Potensi pariwisata memang besar, tapi baru sekedar potensi,” katanya.

“Agar potensi wisata menjadi penggerak ekonomi, diperlukan investasi. Kita harapkan ada swasta yang mau berinvestasi. Kalau mengharapkan invetasi dari pemerintah daerah, sulit. Anggaran pemerintah sangat terbatas untuk sektor pariwisata,” paparnya. (001)