SARA Institute Apresiasi Rencana Polri Bentuk Satgas Antisipasi Politik Identitas

Direktur Eksekutif SARA Institute, Muhammad Wildan. (Foto Istimewa)

JAKARTA.NIAGA.ASIA – Direktur Eksekutif SARA Institute, Muhammad Wildan mengapresiasi rencana Polri membentuk satuan tugas (Satgas) antisipasi politik identitas dengan menggandeng KPU, Bawaslu, Kominfo dan stakeholder yang lain.

Satgas tersebut akan dibentuk untuk mengantisipasi terjadinya polarisasi masyarakat akibat politik identitas yang dapat mengganggu pelaksanaan pemilu 2024 yang demokratis, bersih, berkualitas, dan jujur serta adil.

Menurut Wildan, pembentukan Satgas ini adalah bentuk nyata upaya pencegahan terjadinya politik identitas serta gangguan dalam pemilu baik Pilpres, Pilkada ataupun Pileg.

“Kami SARA institute yang terus mengampanyekan nilai-nilai kebaikan dalam keberagaman agama, ras, dan suku, sangat mendukung rencana Polri serta stakeholders lainya yang akan membentuk satgas cegah politik identitas. Satgas seperti ini sangat dibutuhkan di negara yang heterogen seperti Indonesia ini,” demikian dikatakan Wildan, Selasa lalu.

Dia berharap dengan pembentukan Satgas politik identitas tersebut dapat menciptakan proses dan pelaksanaan Pemilu bersih, sehingga akan menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang berintegritas.

Sebelumnya Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Dr. Dedi Prasetyo, menyampaikan Polri akan membentuk Satgas untuk mencegah terjadinya gangguan politik bernuansa kebencian berbasis identitas pada Pilpres atau Pilkada 2024. Polri akan menggandeng KPU, Bawaslu, dan para partai politik (parpol) dalam satgas itu.

“Untuk mencegah politik identitas dan provokasi maka Polri dan stakeholders terkait bersama dengan KPU, Bawaslu, Parpol kontestasi pemilu bersama-sama menyiapkan satgas-satgas untuk memberikan sosialisasi, edukasi dan literasi kampanye yang bermartabat, menjaga etika, toleransi, moderasi beragama, dan menjaga persatuan,” jelas Kadiv Humas Polri.

Akhiri Polarisasi

Temuan survei yang digelar Litbang Kompas yang dirilis pada Senin (6/6/2022) lalu menyimpullkan bahwa situasi politik nasional masih diwarnai adanya polarisai masyarakat yang masih tinggi. Keterbelahan masyarakat itu terjadi sebagai residu politik pasca Pemilu 2019.

Temuan survei mengungkap sebanyak 36,3 persen publik menilai buzzer, inluencer, atau provokator menjadi penyebab utama yang membuat polarisasi atau keterbelahan di masyarakat makin meruncing.

Sementara itu, sebanyak 21,6 persen mengatakan polarisasi disebabkan informasi hoaks atau tidak lengkap, 13,4 persen menyatakan akibat kurangnya peran dari tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8 persen menyatakan akibat teknologi media sosial.

Hasil survei menyimpulkan bahwa buzzer, inluencer, atau provokator ada di kedua kubu yang pada pemilu 2019 sempat saling berhadapan. Kedua kubu itu sampai sekarang berdasarkan hasil survei, masih aktif memproduksi konten-konten di media sosial yang memancing respons negatif.

Adapun polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat saat ini merupakan residu dari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Saat itu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Tentu saja situasi diatas memantik kekhawatitan masyarakat. Mereka khawatir situasi polarisasi masyarakat itu akan terulang pada pemilu 2024 nanti. Hasil survei mengungkapkan mayoritas responden dari kedua kubu berbeda pilihan capres ini khawatir kondisi ini berlanjut hingga Pemilu 2024 yang akan digelar kurang dari dua tahun lagi.

Berdasarkan survei, 84,6 persen responden setuju bahwa istilah “cebong”, “kampret”, dan “kadrun” harus diakhiri.

Selanjutnya, 90,2 persen responden sepakat kedua kubu mesti menahan diri untuk tidak berkomentar di media sosial yang dapat menimbulkan kebencian/kemarahan.

Sumber: Tribratanews.Polri | Editor: Intoniswan

Tag: