
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024, di Kalimantan Timur (Kaltim) sebanyak 5,81 persen dari 205.925 rumah tangga dengan kepala rumah tangga (KRT) yang bekerja di sektor pertanian tergolong miskin.
Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 5,81 persen rumah tangga Pertanian di Kaltim memiliki pengeluaran di bawah Rp833.955 per kapita per bulan, yang merupakan garis kemiskinan Provinsi Kaltim pada Maret 2024.
Sedangkan peyebab petani miskin adalah sebanyak 32,67 persen petani di Kaltim memiliki luas lahan kurang dari 1 hektar (ha) dan 11,87 persen petani malahan tidak memiliki lahan sama sekali.
Demikian dilaporkan Bapadan Pusat Statistik (BPS) Kaltim dalam laporan berjudul “Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025” yang dipublikasikan 19 Desember 2025.
Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025 merupakan publikasi rutin tahunan Badan Pusat Statistik Provinsi Katim. Publikasi kali ini menyajikan beberapa topik pilihan terkait Sosial Ekonomi Pertanian di Kaltim. Tema pertama membahas tentang Potret Petani Kaltim. Tema ini diangkat untuk memberikan gambaran terkait karakteristik pekerja pertanian di Kaltim.
Menurut Kepala BPS Kaltim, Yusniar Juliana, rendahnya proporsi petani miskin di Kaltim tidak terlepas dari karakteristik struktur usaha pertanian yang berkembang, dimana sebagian besar petani di Kaltim bekerja pada subsektor perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit dan komoditas perkebunan lainnya, yang relatif memiliki nilai tambah dan potensi pendapatan lebih tinggi dibandingkan subsektor pertanian tradisional.
Selain itu, sebagian petani juga memiliki sumber penghasilan tambahan di luar usaha tani, baik dari sektor pertambangan, jasa, maupun kegiatan non-pertanian lainnya, yang turut memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga.
“Kondisi tersebut berkontribusi dalam menekan tingkat kemiskinan di kalangan petani, sehingga proporsi petani miskin di Kaltim relatif lebih rendah dibandingkan wilayah yang struktur pertaniannya didominasi oleh subsektor dengan produktivitas dan nilai ekonomi yang lebih rendah,” paparnya.

Keterbatasan pendapatan pada rumah tangga petani miskin berpotensi memengaruhi kemampuan petani dalam mengakses pangan bergizi seimbang, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, analisis pemenuhan gizi menjadi pelengkap penting dalam memahami kesejahteraan petani secara lebih komprehensif, tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga dari sisi kualitas hidup dan ketahanan pangan rumah tangga.
Rata-rata konsumsi harian protein rendah
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia, rata-rata kecukupan protein per harinya adalah 50-75 gram. Adapun rata-rata kebutuhan lemak harian dianjurkan 44-78 gram per hari, sedangkan rata-rata konsumsi karbohidrat sebesar 225-325 gram per hari.
“Jika melihat rata-rata konsumsi harian protein, lemak, dan karbohidrat rumah tangga petani miskin di Kaltim, secara umum berada di bawah standar kecukupan yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia,” ungkap Yusniar.
Tidak terpenuhinya Angka Kecukupan Gizi pada rumah tangga pertanian dengan rata-rata pengeluaran di bawah garis kemiskinan akan memberikan dampak nyata terhadap kondisi fisik dan kemampuan kerja petani.
Yusniar juga menambahkan, asupan karbohidrat, protein, dan lemak yang tidak mencukupi dapat menurunkan energi, daya tahan tubuh, serta konsentrasi, sehingga petani menjadi lebih mudah lelah dan kurang optimal dalam melaksanakan aktivitas usaha tani yang umumnya membutuhkan tenaga fisik besar dan dilakukan dalam waktu yang relatif panjang.

Dalam jangka pendek, kondisi gizi yang kurang memadai dapat mengurangi intensitas dan efektivitas kerja di lahan, sementara dalam jangka panjang berpotensi menurunkan kesehatan petani dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Dampak tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas dan hasil usaha tani, serta keberlanjutan sumber penghidupan petani. Oleh karena itu, pemenuhan gizi yang seimbang menjadi faktor penting dalam menjaga kapasitas kerja petani dan mendukung peningkatan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.
Kepemilikan lahan kurang dari 1 hektar
Menurut BPS Kaltim, kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor kunci dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Lahan yang dimiliki secara mandiri memberikan kepastian usaha, ruang pengambilan keputusan yang lebih luas, serta jaminan keberlanjutan sumber penghidupan bagi rumah tangga petani.
Petani pemilik lahan cenderung memiliki kontrol yang lebih besar terhadap pola tanam, pemanfaatan teknologi, dan pengelolaan hasil produksi, sehingga berpeluang memperoleh pendapatan yang lebih stabil dibandingkan petani penggarap atau buruh tani.
Selain itu, kepemilikan lahan juga berfungsi sebagai aset ekonomi yang dapat dimanfaatkan sebagai jaminan akses permodalan, sekaligus sebagai penyangga ketika menghadapi risiko gagal panen atau gejolak harga.
“Jika dilihat dari kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai, sebanyak 32,67 persen petani di Kaltim memiliki luas lahan kurang dari 1 hektar (ha). Luas lahan pertanian kurang dari 1 hektar tersebut menunjukkan keterbatasan skala usaha tani yang berpotensi menekan pendapatan petani,” ungkap Yusniar lagi.

Namun, melalui pengelolaan yang intensif, pemilihan komoditas yang sesuai, serta pemanfaatan teknologi dan optimalisasi akses serta promosi pasar, lahan tersebut tetap dapat memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Petani tidak memiliki lahan
Yusniar juga menyampaikan, selain itu, hal menarik lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah petani yang tidak memiliki lahan karena berada pada posisi yang relatif lebih rentan dibandingkan petani pemilik lahan. Adapun persentase petani yang tidak memiliki lahan di Kaltim pada tahun 2023 mencapai 11,87 persen.
“Ketiadaan lahan membuat petani sangat bergantung pada upah harian atau bagi hasil, yang umumnya bersifat tidak tetap dan dipengaruhi oleh musim tanam, kondisi cuaca, serta fluktuasi kegiatan pertanian. Kondisi ini menyebabkan pendapatan petani tanpa lahan cenderung lebih rendah dan tidak stabil, sehingga berimplikasi pada keterbatasan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Yusniar, peningkatan kesejahteraan kelompok petani tanpa lahan memerlukan dukungan kebijakan yang komprehensif, antara lain melalui perluasan akses terhadap kesempatan kerja nonpertanian, penguatan keterampilan, penyediaan skema perlindungan sosial, serta pembukaan peluang keterlibatan dalam usaha pertanian berbasis kemitraan atau koperasi.
“Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat kerentanan dan meningkatkan keberlanjutan penghidupan petani tanpa lahan,” pungkasnya.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan
Tag: PertanianPetani