Sekolah Menengah Atas Swasta Tetap Kekurangan Siswa

aa
SMA Muhammadiyah Nunukan. (Foto Budi Anshori)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019 dimana di Nunukan Kota ada 611 lulusan SMP tidak bisa bersekolah di SMA Negeri, tampaknya tidak membawa pengaruh besar terhadap keberadaan SMA swasta di Nunukan.

Sebagaimana yang terjadi di SMA Muhamadiyah Nunukan. Sekolah yang muali beroperasi  sejak tahun 2014 ini hanya mendapat 20 murid baru, padahal jadwal belajar akan dimulai minggu depan.  “Sampai hari ini baru 20 peserta yang telah mengembalkan formulir pendaftaran SMA,” kata Kepala Sekolah SMA Muhamadiyah Nunukan Asri Arianti, Selasa (10/7/2019).

Entah gaung sekolah swasta belum maksimal mempromosikan sekolah, keberadaan sekolah swasta masih dilirik sebelah mata oleh masyarakat di Pulau Nunukan, meski sistem belajar dan mengajar sama persis dengan sekolah negeri.

Sekolah-sekolah swasta awalnya berharap menerima banyak murid baru dari kebijakan PPDB zonasi karena jumlah ruang belajar (rubel) SMA Negeri di Nunukan tidak sebanding dengan jumlah pelajar lulusan SMP yang ingin melanjutkan ke SMA.

“Ternyata tidak merubah keadaan, sekolah swasta tetap mendapat sebagian kecil calon siswa, bahkan sekolah kami malah turun dari 40 siswa tahun lalu menjadi 20 orang dengan nilai SKHU tertinggi 28 dan terandah 13,” ucapnya. Dengan murid baru 20 orang, SMA Muhamadiyah Nunukan terpaksa tahun 2019 hanya menyiapkan satu rubel. Keadaaan ini cukup menyedihkan karena terjadi penurunan dibanding tahun 2018.

Tidak berbeda dengan SMA Muhamadiyah, SMP Muhamadiyah juga mengalami nasib serupa, pihak sekolah mengaku baru menerima pengembalian formulir pendaftaran calon siswa sebanyak 20 orang.  “Saya masih berhadap ada siswa tambahan paska pengumuman hasil pendaftaran PPDB SMP besok,” ujarnya Kepala Sekolah SMP Muhamadiyah Siti Hatijah.

SMP Mumahadiyah tahun 2018 membuka 2 ruang belajar dengan jumlah siswa baru 40 orang, sekolah yang memilki 13 guru tersebut menerapkan pungutan iuran partisipasi bangku dan meja bagi calon siswa baru sebesar Rp 300.000.

Selain pungutan partisipasi, sekolah menyiapkan kelengkapan sekolah yang dikelola koperasi sekolah untuk memudahkan para murid mendapatkan baju seragam serta pakaian muslim, batik dan baju olah raga dengan harga Rp 700 ribu.“Mungkin karena biaya itulah orang tua enggan menitipkan anak-anak mereka bersekolah di swasta,” tuturnya.

Pengutan infak perbulan bagi tiap siswa harus dilakukan sebagai kebutuhan yayasan memberikan gaji kepada guru, selain itu, yayasan butuh biaya menyiapkan fasilitas dan memelihara infrastruktur gedung sekolah.

Karena alasan pungutan-pungutan itulah, keberadaan sekolah swasta dipandang memberatkan orang tua wali murid, terkadang mereka berpikir terpaksa menitipkan anak-anak di sekolah kami karena tidak miliki pilihan lain. “Gagal di negeri, terpaksa anak-anak masuk swasta. Pola pikir seperti ini yang terbangun pada orang tua di Kabupaten Nunukan,” bebernya. (002)