Soal Ganti Rugi Areal Genangan Bendungan Marangkayu, Wagub Kaltim: Pemprov Tidak Bisa Memutuskan Sendiri

 Wakil Gubernur Seno Aji. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Wakil Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Seno Aji, menegaskan bahwa, Pemprov Kaltim tidak bisa memutuskan sendiri penyelesaian ganti rugi areal untuk genangan Bendungan Marangkayu di Kutai Kartanegara, apalagi sudah ada putusan pengadilan yang memenangkan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dalam sengketa lahan tersebut,

Permasalahannya tidak berada di ranah pemerintah provinsi, tapi di pemerintah pusat, melibatkan antar kementerian, BWS (Balai Wilayah Sungai) Kalimantan IV Samarinda, dan pihak PTPN.

“Bukan (kewenangan) pemerintah provinsi membuat keputusan soal ganti rugi lahan tersebut, tapi dari pusat. Ini yang sekarang sedang disampaikan ke pusat. Apakah mungkin jika tegakan yang ada, pohon-pohon yang ada itu milik masyarakat, sedangkan tanahnya milik PTPN. Itu yang sedang dilakukan oleh pemerintah pusat dan BWS,” ungkapnya pada Niaga.Asia, Senin (25/8/2025) di Kantor Gubernur, Samarinda.

Polemik ganti rugi areal genangan Bendungan Marangkayu, terus berlarut sejak bendungan mulai dibangun pada 2007. Sejumlah warga yang terdampak belum mendapatkan kepastian hingga kini, bahkan sebagian dari mereka justru mengancam akan menjebol bendungan apabila hak-haknya atas tanah tak kunjung dipenuhi.

Menurut Seno Aji, persoalan ganti rugi areal genangan ini memang pelik. Dari sisi hukum, pengadilan memenangkan PTPN karena lahan yang akan digenangi masuk dalam area Hak Guna Usaha (HGU) PTPN.

“Putusan pengadilan memenangkan PTPN karena itu merupakan HGU PTPN,” ujarnya.

Sementara di sisi lain, masyarakat merasa lahan yang sama sudah jadi milik mereka, karena mereka sudah sejak lama menggarapnya, dijadikan lahan cocok tanam dan sudah menghasilkan.

”Masyarakat kemudina berkesimpulan, mereka lah yang berhak menerima ganti rugi atas lahan yang akan digenangi,” kata Seno.

Meskipun secara hukum tanah berstatus HGU PTPN, kata Seno Aji, ia menilai bahwa, tegakan atau tanam tumbuh yang ada di areal yang akan digenangi seharusnya diakui sebagai milik masyarakat.

“Kalau langkah kita sebaiknya ada win-win solution. Itu tegakannya milik masyarakat, karena mereka yang menanam. PTPN itu kan tanamannya karet, sedangkan tanaman yang ada di sana itu bukan karet. Sehingga kita berharap ada win-win solution antara PTPN dan masyarakat,” terangnya.

Ditegaskannya, dana ganti rugi sebenarnya sudah disiapkan melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) selaku pelaksana proyek. Namun dana itu dititipkan di pengadilan karena status kepemilikan tanah jatuh ke PTPN.

“Ganti rugi sudah ada, ganti rugi dari BWS sudah ada, tapi dititipkan di pengadilan. Cuma ganti rugi itu mencakup tegakan dan tanah. Alangkah baiknya kalau itu dibagi dua, yang satu berkaitan dengan tegakannya itu milik masyarakat, dan kedua terkait tanahnya itu kan milik PTPN,” harap Seno.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: