Soal Pembabatan Mangrove, DLH Nunukan Diminta Bertindak Tegas

Kawasan mangrove Desa Binusan Dalam dibabat oknum pengusaha Nunukan untuk perkebunan kelapa pandan. (foto Istimewa/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Utara minta DLH bertindak tegas dalam kasus pembabatan hutan mangrove seluas hampir 8 hektar di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) di Desa Binusan Dalam, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, karena mengubah fungsi hutan mangrove harus mengantongi izin penebangan dan pemanfaatan lingkungan.

Plt Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Hamsi mengatakan, pengawasan terhadap pengrusakan mangrove tidak bisa lepas dari tanggung jawab DLH kabupaten dan UPT KPH Dinas kehutanan Nunukan.

“Ada kewenangan Dinas kehutanan bersama DLH kabupaten mengatasi lingkungan di daerahnya, tidak bisa lepas tangan begitu saja,” kata Hamsi pada Niaga.Asia, Jum’at (04/02/2022).

Mangrove memiliki dampak bagus untuk penyerapan karbon, begitu pula terhadap pengembangan biota-biota laut seperti kepiting, apalagi mangrove dimanfaatkan untuk program pertumbuhan ekonomi hijau di Kaltara.

Hutan mangrove dan lahan gambut sendiri menjadi tawaran dalam emisi gas rumah kaca, karena itulah Pemerintah Kaltara, akan mempersiapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang ekonomi hijau.

“Pohon mangrove sampai keakarnya bisa menyerab sekitar 20 persen carbon. Di Kaltara Presiden Jokowi datang merehabilitasi 180 ribu hektar mangrove,” ujarnya.

Menurut Hamsi, perlindungan lingkungan hidup dihubungkan pula dengan pengelolaan tara ruang tiap daerah, jika pengrusakan tidak sesuai dengan program pemerintah, DLH kabupaten/kota harus melakukan pengawasan dan tindakan tegas.

Peralihan kewenangan perizinan dan pengawasan di provinsi ataupun pusat tidak melemahkan tugas DLH kabupaten/kota dalam pengawasan lingkungan, segala bentuk yang berdampak pada kerusakan harus dihentikan.

“Memang tugas pengawaan di provinsi, tapi daerah tetap bertindak jika pengrusakan dan pemanfaatan lahan tidak sesuai pengelolaan tata ruang,” bebernya.

Hamsi menuturkan, menjaga lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama, DLH kabupaten tetap melakukan pembinaan dan penolakan apabila daerahnya dirusak oknum masyarakat dan perusahaan.

Tanggungjawab sosial dan lingkungan tetap diberikan kepada DLH kabupaten, tiap laporan masyarakat menyangkut kerusakan harusnya di pantau dan dilaporkan ke DLH provinsi untuk bersama-sama mengawasi.

“Kabupaten tetap harus bertindak, tidak ada istilah DLH Nunukan lumpuh karena kewenangan pindah ke provinsi, apalagi penebangan mangrove sudah ada sejak tahun 2019,” bebernya.

Dikatakan Hamsi, DLH Nunukan dan Dinas Kehutanan sebaiknya meneliti lahan APL kawasan mangrove Desa Binusan Dalam. Pengrusakan kawasan mangrove sama hal dengan menentang program pemerintah.

Kemudian, perlu juga diketahui izin pemanfaatan dari perubahan kawasan apakah untuk sektor perkebunan atau perikanan dan terpenting apakah sudah sesuai dengan program tata ruang daerah.

“Sebenarnya ini soal tanggung jawab saja. Tahun 2019 kewenangan pengawasan lingkungan hidup masih di tingkat daerah,” terangnya.

Diberikan sebelumnya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Panjiku Nunukan, melihat adanya pembiaran dari instansi pemerintah daerah atas pembabatan dan pengrusakan hutan mangrove oleh oknum pengusaha terkenal asal Nunukan.

Hutan mangrove yang sudah dibabat oknum pengusaha untuk perkebunan kelapa pandan. (Foto Istimewa)

“Hutan mangrove di Desa Binusan Dalam Kecamatan Nunukan, dibabat untuk kepentingan pribadi oknum pengusaha,” kata Sekretaris LSM Panjiku Nunukan, Haris Arlex

Arlek mengaku, temuan kerusakan sekitar 8 hektar hutan mangrove sejak tahun 2019 hingga sekarang berada di kawasan APL, temuan ini telah dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan.

Sebagai warga yang peduli lingkungan, LSM Panjiku berharap ada tindakan tegas dari instansi pemerintah menyikapi kerusakan mangrove ataupun kawasan hutan yang dampaknya pasti akan merugikan masyarakat Nunukan.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: