Speedboat di Tarakan Setop Operasi, Distribusi Barang Lumpuh

Aktivitas muat barang yang hendak didistribusikan ke sejumlah daerah di Kaltara melalui Pelabuhan SDF Tarakan, belum lama ini. (Foto: Mansyur/Niaga Asia)

TARAKAN.NIAGA.ASIA – Kenaikan tarif tambat di semua pelabuhan di Kalimantan Utara (Kaltara) terus menuai aksi protes. Motoris 52 speedboat bahkan sampai mogok operasi, sejak Sabtu (4/1) pagi kemarin. Imbasnya, distribusi sembako ke kabupaten lain di Kaltara lumpuh. Seperti yang terjadi di Pelabuhan Tengkayu I (SDF) Tarakan.

Hal ini disebabkan kenaikan tarif tambat yang mengacu pada Perda No11 tahun 2019 tentang Retribusi Jasa Pelabuhan di Kaltara, termasuk di SDF Tarakan. Sejak diterapkan per 1 Januari 2020, tarif tambat kapal barang dikenakan Rp5 ribu per jam per GT (Gross Tonnage).

“Sebelumnya, hanya (Sesuai Perda Tarakan) Rp49 ribu dengan GT 30 ke atas perhari. Tapi kalau GT 30 ke bawah lebih rendah. Nah, di aturan baru ini sangat memberatkan kami,” jelas Ketua Forum Komunikasi Antar Pekerja Pelabuhan Tengkayu I Tarakan, Nandrang.

Menurutnya, sejak awal Perda ini dibuat tidak pernah dilibatkan. “Seharusnya, sebelum disahkan DPRD Kaltara, Perda itu disosialisasikan,” ucapnya.

Terkait itu, Nandrang memilih tidak menjalankan aktivitasnya sejak 25 Desember 2019, yang bertepatan libur Natal dan Tahun Baru. Namun demikian, keluhan dari konsumen di Kabupaten Tana Tidung (KTT) dan Malinau sudah banyak diterimanya, untuk kebutuhan sembako.

“Kalau kami hentikan mengantar barang ke Malinau dan Tana Tidung, mereka di sana akan teriak-teriak. Karena di dua daerah ini, 75 persen kebutuhan sembakonya berasal dari Tarakan. Sedangkan 25 persen lagi lewat Tanjung Selor, Berau dan Samarinda,” ungkapnya.

Khusus kapal miliknya, Nandrang menuturkan biasanya ia menambatkan kapal di Pelabuhan Tengkayu I ini selama dua hari dua malam. Artinya, 28 jam jika disesuaikan Perda No 11 tahun 2019 ini, dia harus membayar Rp14.160.000 untuk kapal 59 GT miliknya.

Sementara, Nandrang mengaku selain berusaha, dia juga membantu kebutuhan pokok di pedesaan, di Malinau dan Tana Tidung. “Saya sampaikan ke pak Kadis, sebelum ikut berkapal sampai hari ini, tetap tidak ada perubahan, masih Rp3 ribu per koli. Di sinilah kami punya niat membantu orang di sana. Kalau dinaikkan harganya kan daya beli menurun,” tuturnya.

Sedangkan kapalnya hanya bisa memuat 8 ribu koli, dengan nilai keseluruhan Rp18 juta dikurangi biaya operasional Rp10 juta. Jika keuntungan dikurangi lagi tarif tambat Rp14 juta, maka tidak ada untung yang didapatkan, dan malah harus membayar sisa tarif tambat.

Nandrang membandingkan dengan tarif tambat di Pelindo, Pelabuhan Malundung untuk dermaga beton, besi dan kayu berkisar Rp85 per GT, per etmal atau 24 jam. Jika 59 GT, berarti tarif tambat kapalnya berkisar Rp240.720

“Jadi, kalau ditarik dari Perda dan peraturan Pelindo jauh selisihnya, dari Rp14.160.000 dan Rp240.720. Semua kapal barang di SDF sudah kami pindahkan ke daerah Jembatan Besi sejak Jumat kemarin. Kalau masih parkir akan terkena cash, sementara kita stop operasi,” tambah Nandrang.

Terpisah, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kaltara, Taupan Madjid menuturkan, perhitungan retribusi dalam Perda No 11 Tahun 2019 ini sudah dilakukan perhitungan oleh tim ahli. Namun demikian, dia membuka ruang untuk diskusi ulang, dan disampaikan ke Gubernur atau DPRD Kaltara.

“Kenapa sampai keluar angka sekian kan pasti melalui kajian. Kalau mintanya Perda ini ditinjau ulang, kami akan minta ke DPRD nanti sebagai yang mengetok Perda ini,” katanya.

Sekadar diketahui, pada Senin (6/1) besok, DPRD Kaltara menggelar rapat dengar pendapat (hearing) bersama Dishub Kaltara, pemilik speedboat reguler dan kapal barang di Tanjung Selor. (003)