Tahun 2025 Baru Awal dari Kesulitan Keuangan Pemerintah Daerah

Editorial Niaga.Asia

Pemimpin Redaksi Media Online Ekonomi dan Bisnis Niaga.Asia, Intoniswan.

Tahun 2025 adalah tahun paling tidak mengenakkan bagi pemerintah daerah, baik level provinsi maupun kabupaten dan kota. Hingga bulan ini, sudah dua kali pemerintah pusat memotong hak-hak keuangan daerah yang sudah ditetapkan di APBN 2025 dengan dalih efisiensi.

Pemotongan pertama terjadi di awal-awal tahun, pemerintah pusat menggunakan dasar hukum Perpres No 1 Tahun 2025. Pemotongan kedua dan teranyar adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tanggal 29 Juli 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja Dalam APBN, dimana intinya pemerintah pusat memotong transfer ke daerah (provinsi/kabupaten/kota).

Pemerintah daerah, baik dilevel provinsi, kabupaten maupun kota, tidak ada yang berani memprotes. Beberapa pejabat di daerah ketika ditanya, lebih memilih bungkam, dengan alasan, peraturan pemotongan itu diputuskan Presiden yang juga sekaligus Kepala Negara.

Pemerintah daerah, jelas sangat dirugikan oleh adanya pemotongan hak-hak keuangannya yang sudah ditetapkan di APBN 2025 sebab, sangat banyak kegiatan yang harus dibatalkan dan atau dikurangi volumenya. Selain itu daerah juga tidak utuh menerima kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh kementerian di suatu provinsi, atau kabupaten dan kota.

Kepala daerah yang kebanyakan dari partai politik yang berada dalam koalisi besar di Pemilihan Presiden 2024, lebih banyak menyikapi pemotongan hak-hak keuangan daerah dalam APBN 2025, lebih memilih merevisi rencana kegiatan, ada yang dibatalkan dan ada pula yang volumenya dikurangi.

Sikap ambigu pemerintah pusat

Dalam urusan membiayai pembangunan di daerah, sikap ambigu pemerintah pusat diperlihatkan secara terbuka. Pemerintah daerah dianjurkan mencari sumber-sumber lain untuk membiayai pembangunan, misalnya dengan meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) atau meminjam ke lembaga keuangan yang berada di bawah Kementerian Keuangan.

Lembaga pembiayaan di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu meliputi Pusat Investasi Pemerintah (PIP) (untuk Pembiayaan Ultra Mikro), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) (Indonesia Eximbank), dan beberapa Special Mission Vehicle (SMV) seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), dan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero).

Untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga pembiayaan di bawah naungan Kemenkeu, bukan perkara mudah, begitu banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan makan waktu yang cukup lama, bisa 2-3 tahun, sedangkan masa jabatan kepala daerah hanya 5 tahun.

Menghadapi kondisi demikian, pilihan kepala daerah tinggal meningkatkan PAD sebisa-bisanya, misalnya menaikkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tanah dan bangunan masyarakat, sehingga angka PAD dari PBB bisa tambah besar.

Kebijakan menaikkan nilai NJOP tanah dan bangunan tersebut menimbulkan protes keras dari masyarakat. Masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang paling pertama memprotes keras, kemudian menyebar ke banyak daerah di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Pemerintah di daerah, hampir tak punya sumber-sumber pendapatan baru, karena aneka macam sumber pendapatan sudah dimonopoli pemerintah pusat, yang mereka sebut dengan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang dipungut instansi pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah tak mendapat bagian.

Sebagai contoh kasus PNBP nomor polisi kendaraan yang dipungut Polri. Untuk memiliki nomor polisi satu angka, dikenai PNBP Rp25 juta, daerah tak dapat bagian dari PNBP tersebut. KKP membuat aneka macam PNBP bagi nelayan.

Tahun 2025 baru awal dari kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah di daerah. Kesulitan tersebut dapat dipastikan berlanjut ke tahun 2026, mungkin seterusnya, karena mayoritas daerah memang tidak punya PAD yang memadai, bahkan tidak cukup membiayai operasionalnya sendiri.

Misalnya PAD Kota Samarinda hanya berkisar Rp900 miliar, sangat kecil dibandingkan biaya operasional pemerintah kota Samarinda yang mencapai sekitar Rp1,5 triliun. Kota Balikpapan meski menargetkan PAD tahun 2025 sebesar Rp1 triliun, itu juga jauh dibawah kebutuhan operasional pemerintahan.

Sumber PAD kota, hingga kini masih dari Pajak PJU (Penerangan Jalan Umum), restoran dan rumah makan, ditambah BPHTB (Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang sangat tidak stabil, karena sangat tergantung pada transaksi atas tanah di masyarakat. Kalau ekonomi sulit, seperti sekarang, karena belum pulih paska Covid, jual beli tanah sepi, sehingga pendapatan dari BPHTB) cenderung menurun, belum mendekati kondisi sebelum Covid.

Dari 514 wilayah administrasi tingkat kedua, yang terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota, serta 38 provinsi, tidak sampai 5% yang punya PAD cukup untuk membiayai keperluan operasional pemerintahannya, sisanya 95% masih bergantung pada subsidi dari pemerintah pusat. Hanya Daerah Khusus Jakarta yang PAD-nya melimpah, sehingga APBD-nya mencapai Rp77 triliun.

Akhirnya yang bisa dikatakan adalah membangun ya membangun, tapi janganlah mecekik rakyat untuk mendapat uang bagi membangun daerah.

Tag: