Tata Niaga Pangan dan Energi Semakin Memburuk

Warga yang mengantre minyak goreng di salah satu retail modern Balikpapan. (Arif Fadillah/Niaga.Asia)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Tata niaga pangan dan energi yang semakin hari semakin memburuk, padahal Kementerian Perdagangan selalu menjanjikan harga normal dan stok aman menjelang puasa dan lebaran, akan tetapi kenyataannya di lapangan berbanding terbalik.

Demikian dikatakan anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina menyoroti kenaikan berbagai harga komoditas pangan yang merupakan kebutuhan bagi masyarakat.

“Saya minta pemerintah dalam waktu cepat dapat menyelesaikan persoalan gejolak harga pangan tersebut,” kata Nevi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/3/2022).

Belum selesai masalah kenaikan dan kelangkaan minyak goreng dan kedelai, sekarang harga daging sapi mulai naik. Belum lagi gas elpiji non subsidi yang juga naik.

“Saya menyarankan kepada pemerintah agar membentuk tim khusus yang dapat menangani persoalan pangan dan energi ini sehingga pengendalian harga jelang puasa dan lebaran dapat dilakukan. Tim terdiri berbagai lembaga institusi kementerian di bawah Kemenko Perekonomian,” sarannya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjabarkan, selain dampak pandemi yang terus berlangsung, pecahnya perang Rusia-Ukraina telah membuat inflasi Indonesia melambung. Hal itu, terutama dipicu kenaikan harga komoditas energi dan sumber daya mineral di pasar global. Bahkan negara-negara di dunia yang sebelumnya inflasi pangan hanya 1 persen, kini ada yang mencapai 7 persen akibat kenaikan harga pangan.

Inflasi akan meningkatkan

Nevi menambahkan, saat ini harga komoditas energi dan sumber daya mineral, seperti minyak mentah, crude palm oil (CPO), dan komoditas mineral seperti nikel dan batu bara sudah melonjak.

Harganya diperkirakan akan semakin melambung seiring pecahnya perang rusia-Ukraina. Hal ini akan membuat permintaan dunia tinggi, sementara pasokan berkurang, sehingga inflasi akan meningkat, termasuk di Indonesia.

“Pemerintah harus memastikan stok kebutuhan pangan tercukupi untuk 6 bulan ke depan. Negara mesti dapat memanfaatkan penggunaan sumberdaya dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan dan  bahan baku yang terkait dengan energi (seperti batubara untuk listrik), sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor,” tutur legislator dapil Sumatera Barat II tersebut.

Ia juga mengingatkan bahwa nilai impor minyak goreng negara sangat tinggi, padahal  Indonesia termasuk produsen minyak goreng terbesar di dunia.

Data menunjukkan pada tahun lalu importasi minyak goreng mencapai 93,3 juta dolar AS atau Rp1,34 triliun (kurs Rp14.408 per dolar AS). Nilai ini naik 38,34 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara rinci impor minyak goreng berasal dari lima negara utama. Terbesar dari negara tetangga Malaysia sebanyak 19,26 juta dan kemudian disusul dari negara Thailand sebanyak 16,5 juta kilogram. Selanjutnya impor berasal dari Australia dengan volume sebanyak 6 juta kg, serta dari Spanyol sebanyak 1,3 juta kg dan dari Italia sebanyak 1,29 juta kg.

Mengutip data, Nevi mengatakan, pada Januari 2022 impor minyak goreng nabati tercatat sebanyak 4,42 juta kg. Jumlah ini naik 4,37 persen dibandingkan Januari 2021 sebanyak 4,23 juta kg, setara dengan 8,2 juta dolar AS atau naik 42,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pemerintah harus mengawasi distribusi kebutuhan bahan pokok seperti minyak goreng, sehingga tidak terjadi penimbunan yang bisa mengakibatkan lonjakan harga. Pada jangka panjang, Alternatif sumber pangan lokal harus mulai dibangun dengan mengupayakan substitusi.

“Indonesia memiliki keanekaragaman komoditas pangan yang sejatinya bisa dimanfaatkan,” tutup Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini.

Sumber : Humas DPR RI | Editor : Intoniswan

Tag: