Tidak Satupun Perusahaan Pelayaran di Nunukan Laporkan Isi PKL Pelaut

Kegiatan pelayaran speedboat reguler di PLBL Nunukan (Foto : Budi Anshori/niaga.asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA — Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Nunukan mengaku belum pernah melihat ataupun mendapatkan salinan isi Perjanjian Kerja Laut (PKL) antara perusahaan transportasi pelayaran bersama dengan pelaut.

PKL menjadi persoalan baru yang dikeluhkan pasca munculnya protes pelaut terhadap hak perlindungan hukum. Baik keselamatan, kesejahteraan maupun kesehatan selama bekerja sebagai pelaut di kapal dan speedboat reguler.

“Sampai sekarang kami tidak pernah lihat form isi PKL ataupun menerima catatan pekerja laut,” kata Kepala Bidang Hubungan Industrial (HI) Disnakertrans Nunukan Marselinus kepada niaga.asia, Rabu (11/5).

Selama ini, lanjut Marselinus, kelengkapan administrasi pelayaran kapal dilaporkan ke Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) Nunukan. Tidak satupun pengusaha melaporkan PKL dan jumlah pekerja kepada pemerintah daerah.

Meski begitu, Disnakertrans Nunukan sepakat jika segala bentuk kesepakatan kedua belah pihak antara perusahaan pelayaran dan pelaut dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikat, dan bukti dokumen perjanjian itu dilaporkan ke Disnakertrans.

“Kami tidak punya data ketenagakerjaan pelaut. Bahkan di Kalimantan Utara belum ada PKL untuk pelaut,” sebutnya.

Marselinus menjelaskan, dalam aturan ketenagakerjaan menyebutkan bahwa tiap orang yang bekerja wajib memiliki PKL dan perjanjian tersebut dicatatkan pada Disnakertrans setempat. Nyatanya, sampai hari ini belum ada satupun perusahaan melaporkan hal itu.

Perusahaan juga wajib memberikan jaminan sosial kesehatan bagi kalangan pekerja. Sedangkan besaran upah pekerja disesuaikan dengan jenis perusahaan, apakah kategori besar atau masuk kalangan usaha kecil seperti UMKM.

“Nanti kita coba koordinasi ke Provinsi Kaltara, bagaimana sistem PKL di sana dan apa yang harus dilakukan untuk daerah,” sebutnya.

Persoalan upah yang dikeluhkan pelaut adalah imbas dari lemahnya administrasi perjanjian kerja. Seharusnya tiap pekerja diberikan upah yang layak menyesuaikan kemampuan perusahaan, apakah masuk kategori perusahaan besar atau UMKM.

Standar upah perusahaan besar yang memiliki jumlah pekerja 100 orang harus menerapkan Upah Minimum Kabupaten (UMK). Berbeda dengan pelaku usaha UMKM yang dikecualikan berada di bawah besaran UMK.

“Pengawasan upah pekerja ada di Disnakertrans provinsi. Kalau kabupaten sebatas pembinaan dan mensosialisasikan aturan,” demikian Marselinus.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: