Triwulan I, Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Baru 31,21% dari Target Rp549,51 T

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara.

JAKARTA.NIAGA.ASIA- Pelemahan Pendapatan Negara sebagai dampak perlambatan ekonomi selama masa pandemik Covid-19 mulai terlihat. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah hingga akhir bulan pertama triwulan kedua 2020 mengalami tekanan, dimana baru mencapai 31,21 persen dari target pada APBN-Perpres 54/2020 atau secara nominal berjumlah Rp549,51 triliun.

“Jumlah tersebut terealisasi dari Penerimaan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang masing-masing mencapai Rp434,33 triliun dan Rp114,50 triliun, serta realisasi dari Hibah sebesar Rp0,67 triliun,” kata Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara  dalam publikasi APBN Kita edisi Mei 2020.

Pemerintah mewaspadai perkembangan ekonomi global saat ini  akibat pandemi COVID-19 dan telah merespon melalui kebijakan stimulus fiskal di dalam negeri yang diberikan untuk penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat yang rentan, insentif untuk sektor yang terdampak secara langsung, dan penguatan stabilitas keuangan.

Menurut Wamenkeu, Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama 2020 beberapa negara menggambarkan secara nyata dampak wabah Covid-19 yang telah mempengaruhi penurunan aktivitas ekonomi di seluruh dunia, seperti Tiongkok (-6,8 persen), US (0,3 persen), Jerman (-2,3 persen), dan Singapura (-2,2 persen).

Dalam merespon prospek pelemahan ekonomi global tersebut, beberapa negara telah mengeluarkan berbagai kebijakan pelonggaran moneter dan paket kebijakan fiskal dengan skema yang progresif dan nilai yang signifikan.

Pendapatan negara melemah

Menurut Wamenkeu, tekanan pada Pendapatan Negara terefleksi pada realisasi rendahnya penerimaan Pajak hingga akhir bulan April 2020 yang tumbuh negatif 3,1 persen (yoy) atau mencapai Rp376.67 triliun (30 persen dari target APBN-Perpres 54/2020).

Beberapa sektor dominan seperti Perdagangan, Konstruksi & Real Estate, Pertambangan, dan Transportasi & Pergudangan mengalami kontraksi, meskipun beberapa sektor lainnya masih tumbuh seperti Jasa Keuangan dan Asuransi karena masih beroperasi selama pandemi Covid-19.

“Hampir semua jenis pajak tumbuh negatif selama periode Januari-April 2020, dimana PPh Badan terkontraksi negatif 15,23 persen akibat perlambatan ekonomi yang terlihat dari pertumbuhan negatif Setoran Masa dan Tahunan,” katanya.

Demikian juga PPh/PPN Impor terkontraksi negatif 8,90 persen seiring kontraksi kegiatan impor nasional. Dampak ekonomi dari Covid-19 mulai terefleksikan dalam penerimaan pajak, akibat perluasan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengakibatkan pembatasan aktivitas ekonomi.

Hal ini juga tercermin dari PPN DN yang hanya tumbuh 0,82 persen secara bruto, melambat dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Sinyal perlambatan penerimaan yang mulai terlihat di bulan April dan implementasi stimulus fiskal Covid-19 ini akan sangat mempengaruhi penerimaan di bulan-bulan berikutnya. Sebagai gambaran awal, penerimaan pajak untuk periode tanggal 1 sampai dengan 15 Mei 2020  sudah tumbuh sebesar negatif 28,57 persen.

Untuk penerimaan Kepabeanan dan Cukai, secara nominal realisasinya masih tumbuh sebesar Rp57,7 triliun atau 27,7 persen dari target APBN-Perpres 54/2020. Penerimaan ini didukung utamanya oleh penerimaan dari Cukai sebesar Rp36,2 triliun.

“Sementara itu, realisasi perdagangan internasional sampai dengan bulan April 2020 tumbuh negatif, dimana realisasi Bea Masuk tumbuh negatif 2,64 persen (yoy) atau sebesar Rp11,5 triliun dan realisasi Bea Keluar tumbuh negatif 34,97 persen (yoy) atau sebesar Rp0,9 triliun,” ungkap Wamenkeu.

Kontraksi yang cukup dalam pada pertumbuhan perpajakan perdagangan internasional ini terjadi akibat turunnya volume impor, penurunan harga komoditas, dan melambatnya aktivitas ekspor barang mineral nikel dan tembaga sebagai dampak mewabahnya Covid-19 di berbagai negara. Hal ini juga tercermin dari Neraca Perdagangan Indonesia di bulan April yang mengalami defisit sebagai akibat dari tekanan defisit di sisi migas maupun non migas.

Kemudian di sisi PNBP, realisasinya sampai dengan bulan April 2020 tercatat sebesar Rp114,50 triliun atau 38,5 persen dari target APBN-Pepres 54/2020 yang ditopang oleh penerimaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), dimana terdapat pergeseran pembayaran dividen BUMN menjadi lebih awal dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun di sisi lain, tekanan terhadap PNBP berasal dari harga komoditas yang rendah, seperti harga minyak dan harga batubara yang menyebabkan penerimaan dari PNBP belum optimal. “Harga minyak yang cenderung turun di kisaran USD25 sampai USD30 per barel yang menyebabkan PNBP minyak bumi dan gas akan mengalami penurunan,” pungkasnya. (*/001)

Tag: