Wardah Mengaku Penghasilan Tukang “Dolar” Mulai Membaik

Wardah bersama tukang  “dolar” lainnya mangkal di depan toko sekitar pelabuhan Tunon Taka Nunukan. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Ini bisa disebut sesuatu yang tak lazim oleh orang luar Nunukan. Meski usahanya  hanya jual-beli Ringgit Malaysia, tapi di Nunukan atau di wilayah perbatasan dengan Malaysia tetap disebut  tukang “dolar”.

Usaha jual beli Ringgit Malaysia di Nunukan maupun di Sebatik, sama tuanya dengan usia Republik Indonesia. Usaha tersebut ada yang turun temurun, tapi ada juga pendatang baru. Tapi rata-rata usaha tukar menukar mata uang ini digeluti penduduk dari tanah seberang, Sulawesi Selatan yang sudah beranak-pinak di Kabupaten Nunukan.

Tukang “dolar” ini sempat “mati suri” selama pandemi COVID-19, karena Malaysia melaksanakan kebijakan lockdown, sehingga tidak ada lalulintas orang dari Tawau, Sabah, Malaysia ke Nunukan dan sebaliknya.

Sejak April lalu, tukang “dolar” mulai kembali bernapas, Malaysia sudah membuka kembali wilayah seiring dicabutnya kebijakan lockdown. Arus orang dan barang  Tawau-Nunukan kembali meningkat dan lancar.

Tukang “dolar” atau usaha Money Changer secara perorangan ini, ditekuni puluhan orang. Biasanya  tukang “dolar” mangkal di sekitar pintu gerbang pelabuhan Tunon Taka dan pintu masuk terminal di dalam kawasan pelabuhan.  Tampilan khas tukang “dolar” menenteng tas kecil dan mata uang Ringgit atau Rupiah.

“Waktu Malaysia lockdown tidak ada keberangkatan kapal di Nunukan, penukaran uang sepi, kadang seharian kami tidak dapat penghasilan,” kata Wardah, bercerita kepada Niaga.Asia, Rabu (10/8/2022).

Wardah hanyalah satu dari puluhan tukang” dolar” yang biasa mangkal di pelabuhan Nunukan.  Wanita berusia 23 tahun ini mengaku telah menggeluti usaha penukaran uang sejak tahun 2017, atau saat itu dia  baru berumah tangga.

Usaha penukaran uang  yang sekarang dijalankannya, awalnya adalah usaha suaminya. Namun semenjak tahun 2021 bersamaan ditutupnya pelayaran internasional karena larangan masuk Malaysia, suaminya banting setir bekerja di rental mobil.

“Kalau pas suami  kerja bawa mobil, saya yang ke pelabuhan menjalankan usaha penukaran uang. Pokoknya kami kerjasama menghidupi keluarga,” sebutnya.

Jual beli Ringgit  terbesar Wardah adalah ketika menerima uang tukaran dari seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang baru pulang dari Malaysia ke Nunukan. Jumlah penukaran saat itu sebesar 3.000 Ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp 9.900.000 (kurs rupiah Rp 3.300).

Dalam transaksi penukaran mata uang  secara tradisonal ini, harga jual beli mata uang yang  ditawarkan Wardah, setiap transaksi mengambil untung Rp100,oo. Jika nilai tukar resmi 1 Ringgit Malaysia Rp3.300 maka dia membeli Rp3.200. Saat menjual lagi di pelabuhan, wardah mamatok Rp.3.400 untuk 1 Ringgit Malaysia.

“Keuntungan penjualan tiap 1 RM cuma 100 rupiah, sukur-sukur sehari bisa dapat pembeli RM 1.000, adalah penghasilan Rp 100.000,” ujarnya.

Mata uang Ringgit yang dibelinya, kalau tak terjual langsung di pelabuhan, kata Wardah, dijual lagi ke bos-bos pemilik usaha money changer Nunukan, yang tiap 1 RM dibeli seharga Rp 3.350.

“Kalau Ringgit saya jual ke bos-bos money changer, untungnya Cuma Rp50 tiap 1 RM,” ungkapnya.

Menurut Wardah, rata satu orang tukang “dolar”  menyiapkan mata uang Malaysia itu antara  100 RM sampai 3.000 RM. Apabila ada transaksi besar, maka tukang “dolar” kongsian.

“Saya ini pemain kecil, disana banyak bapak-bapak “dolar” main besar beli sampai 8.000 RM atau setara Rp 26.400.000,oo,” terangnya.

Meski Wardah bersama wanita-wanita penjual “dolar” bekerja di luar rumah, tapi tetap melaksanakan  kewajibannya menjaga anak-anaknya. Bahkan ada yang sambil membawa naka di gendongan. Ketika langit sudah mulai senja, mereka berkemas membawa hasil  usahanya ke rumah yang juga kebanyakan di sekitar pelabuhan.

“Anak saya 1 orang usianya baru 4 tahun, setiap hari ikut ibunya kerja menunggu penukaran uang, semoga kami sehat-sehat selalu bisa kerja,” kata Wardah.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: