Warkhatun Najidah Nilai RUU IKN Sangat Tidak Layak Disahkan jadi UU

Presiden Jokowi berdiskudi dengan Gubernur Kaltim Isran Noor saat mengunjungi Klaster Pemerintahan (Titik Nol) Ibu Kota Baru, di Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, Kaltim, Selasa (17/12/2019) siang. (Foto: AGUNG/Humas)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA– Fakultas Hukum Unmul Nilai RUU IKN (Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara)  yang baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menilai masih sangat tidak layak disahkan jadi UU IKN yang mengikat, pembahasan RUU IKN yang disusun dengan tidak partisipatif dan yang tidak memberikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan intelektual daerah.

Kemudian, RUU IKN masih memerlukan pembahasan lebih mendalam dari berbagai aspek, dan sejatinya pembahasan akademis adalah pembahasan ilmiah bukan wadah sebagai legitimasi politik sebuah peraturan perundang-undangan.

Dosen sekaligus Juru Bicara Fakultas Hukum, Warkhatun Najidah menegaskan itu dalam siaran persnya dalam kerangka partisipasi publik untuk sebuah proses legislasi yang demokratis dan prosedural, serta sekaligus menanggapi Uji publik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) pada Selasa, 11 Januari 2022, di Universitas Mulawarman, yang diterima Niaga.Asia, hari ini, Rabu (12/1/2022).

Mencermati pasal-pasal di RUU IKN, Najidah mengatakan, misalnya di Pasal 2, perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut terkait sistem pemerintahan khusus IKN.

“Perlu dilakukan penjabaran dan sinkronisasi atas frasa “pemerintahan khusus” dalam RUU IKN ini dengan UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah,” katanya.

Kemudian, Pasal 7, perlu dijabarkan tetang legal substance dari rencana induk IKN. Jika rencana induk IKN berisi dokumen perencanaan , pengelolaan dan lain sebagainya apakah dibenarkan  didasarkan pada sebuah peraturan presiden semata.

“Bukankah dokumen perencanaan terkait dengan perencanaan wilayah dan rencana pembangunan ditetapkan dalam sebuah UU atau sebuah peraturan daerah,” ujar Najidah bertanya.

Kekhawatiran bahwa penetapan ini dilakukan berdasarkan peraturan presiden adalah bahwa rencana induk memberikan proporsi yang berlebihan kepada eksekutif tanpa mendapat control dan pertimbangan dari legislative sebagai bagian dari masyarakat.

Selanjutnya, Pasal 4, menurut Najida, tidak Koheren dengan pasal 11 dimana wewenang dalam pasal 4 akan disebut dalam UU ini tetapi justru di pasal 11 memerintahkan kewenangan diatur dalam Peraturan Presiden.

Apakah cukup sebuah kewenangan diatur dalam peraturan presiden. ?

Menurut Najidah, di Pasal 11, mengenai struktur organisasi, tugas, wewenang dan tata pemerintahan khusus IKN diatur dalam peraturan presiden. Bagaimana mungkin wewenang sedemikian besar atas sebuah otoritas IKN diberikan atas daar peraturan presiden.

Sedangkan UU yang ada di atasnya yaitu RUU IKN ini tidak mengatur dengan rigid kewenangannya. Jelas bahwa kewenangan dilakukan berdaskan atribusi dan pelimpahan kewenangan.

“Badan sebesar Otorita IKN seharusnya mendapatkan legitimasi kewenangan berdasrkan atribusi langsung dari UU atau paling tidak peraturan pemerintah, bukan peraturan presiden,” tegas Najidah.

Kebijakan ini manampakkan bahwa teradapat dominasi eksekutif yang luar biasa tanpa sistem control yang jelas. Padahal seharusnya pada sistem pemerintahan yang baik perlu adanya cek and balance antara eksekutif dan legislatif.

“RUU IKN harus jelas mendeskirpsikan antara Wewenang dan urusan karena keduanya adalah hal yang berbeda,” katanya.

Penulis : Intoniswan | Editor : Intoniswan

Tag: