Waspada! Fase Kering di Nunukan Diperkirakan Hingga Maret 2020

Kekeringan embung DPAM di Sei Bilal Nunukan (foto : Budi Anshori/Niaga Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Memasuki dasarian 10 hari ketiga di bulan Februari tahun 2020, wilayah perbatasan Indonesia di Kabupaten Nunukan diperkirakan masih terus memasuki fase kering, dengan intensitas hujan yang cukup rendah 10 – 20 milimeter atau 20 – 25 milimeter per hari.

Fase kemarau yang berlangsung sejak November tahun 2019 itu, perlu menjadi perhatian khusus. Sebab jika tidak ada antisipasi, maka potensi kekeringan bisa menimbulkan dampak sangat luas.

“Kami sudah menginformasi, baik berupa peringatan dini terkait kondisi cuaca serta iklim yang cukup memprihatinkan,” kata Kepala Forkester Cuaca BMKG Nunukan Taufik Rahman, Senin (24/2).

Taufik menerangkan, peringatan dini bahaya fase kemarau, telah disampaikan lewat berbagai media dan terlebih khusus kepada sektor terkait. Bahwa, pada periode akhir Desember 2019, Januari dan Februari 2020 perlu mewaspadai potensi kekeringan yang cukup panjang.

Peringatan itu terbukti, dimana curah hujan dalam tiga bulan terakhir yang sangat minim, berdampak pada berkurangnya cadangan air untuk kebutuhan masyarakat, hingga menimbulkan krisis air bersih.

“Sekarang Pulau Nunukan dan Sebatik krisis air bersih. Dampak lain terburuk dari kekeringan adalah terjadinya kebakaran hutan dan lahan,” ujar Taufik.

Dijelaskan, berdasarkan data BMKG selama periode 20 tahun terakhir, bahwa bulan kering di Kabupaten Nunukan sudah bisa dibedakan dengan bulan basah. Dimana, serah perbatasan Indonesia RI – Malaysia tersebut masuk dalam jenis daerah non zom (bukan zona musim).

Bulan basah dan bulan kering dan tipe hujan di Nunukan, masuk dalam kategori ekuatorial. Sebab, sepanjang tahun terjadi hujan dan ada 2 puncak hujan serta ada bulan kering di periode Januari hingga awal Maret.

“Kekeringan yang terjadi saat ini, dipengaruhi kondisi cuaca yang memasuki fase kering dengan curah hujan kecil. Maka terjadi kekeringan cukup luar biasa,” ungkapnya.

Kesulitan air bersih di Kabupaten Nunukan, tidak hanya disebabkan minimnya curah hujan, dan berkurangnya sumber resapan air. Melainkan juga dipengaruhi juga oleh pendangkalan daerah aliran sungai, dan kepadatan penduduk serta alih fungsi lahan hutan.

Pembukaan lahan yang tidak terkontrol sehingga hutan – hutan sebagai sumber resapan air berkurang adalah satu kesalahan besar. Tanpa disadari, aliran air sungai mengecil bahkan sebagian sungai kering di musim kemarau.

“Kabupaten Nunukan cukup memprihatinkan. Embung-embung dikelola PDAM sudah mulai mengering dan hanya berharap air hujan,” tutup Taufik. (002)