
BANDUNG.NIAGA.ASIA – Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan kiblat sekaligus jangkar perdagangan internasional yang berbasis aturan (rules-based trading system). Namun, WTO saat ini sedang berjalan tidak optimal padahal dunia perlu kepastian hukum dan akses pasar yang cepat.
Hal itu diungkap Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI Djatmiko Bris Witjaksono saat menjadi narasumber pada Gelar Wicara tentang KTM ke-14 Forum dilanjutkan dengan sesi gelar wicara (talk show) dengan tema “Memperkuat Posisi Indonesia pada KTM WTO ke-14” secara virtual pada Selasa (23/12), di Bandung, Jawa Barat.
“Saat ini, prioritas utama Indonesia adalah memulihkan sistem penyelesaian sengketa (dispute settlement) WTO. Meski begitu, Indonesia juga menghadapi sejumlah isu penting lainnya, seperti ketahanan pangan melalui public stockholding, akses pasar, hingga pertanian,” kata Djatmiko.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk WTO Nur Rakhman Setyoko menyoroti kondisi politik di Jenewa yang ia nilai menantang, khususnya terkait fungsi penyelesaian sengketa WTO akibat badan banding (appellate body) yang belum berfungsi secara optimal. Hal ini terjadi karena salah satu anggota tidak ingin mengembalikan mekanisme penyelesaian sengketa seperti semula.
“Indonesia perlu menempatkan prioritas untuk menyelesaikan sengketa dalam sistem perdagangan multilateral,” ujar Nur.
Dari kacamata praktisi, Pengacara Hukum Perdagangan Internasional Joseph Wira Koesnaidi menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara WTO yang paling aktif baik sebagai penggugat (complainant) maupun sebagai tergugat (respondent).
Joseph pun menyampaikan sejumlah mekanisme alternatif yang dapat dimanfaatkan dalam WTO, yakni Mutually Agreed Solution (MAS), mekanisme arbitrase untuk menggantikan proses banding, dan kesepakatan antarpihak untuk tidak mengajukan banding.

Menurut Joseph, Indonesia perlu terus mencari alternatif untuk menciptakan keputusan terbaik untuk melindungi kepentingan nasional.
“Indonesia harus terus bersiap dan adaptif terhadap apapun yang terjadi. Situasinya, memang geopolitik dan geoekonomi yang sulit diprediksi menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih fleksibel, termasuk pendekatancase-by-caseuntuk melindungi kepentingan nasional,”ujar Joseph.
Sementara itu, dari kalangan akademisi, dosen dan peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prita Amalia menyampaikan, special and differential treatment (SDT) menjadi hal penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang untuk memanfaatkan prinsip kesetaraan dalam WTO.
”SDT memastikan negara berkembang mampu mengimplementasikan kewajiban WTO sekaligus ikut menikmati manfaat perdagangan. SDT menjadi kunci menjaga legitimasi dan keberlanjutan WTO sebagai sistem perdagangan global,” ujarnya.
Prita juga menyampaikan, untuk memperkuat Indonesia pada WTO KTM ke-14, Indonesia perlu mengidentifikasi isu dan mengumpulkan ilmu dari lintas keilmuan.
“WTO KTM mendapat perhatian dari banyak akademisi dan peneliti. Tidak hanya dari kalangan hukum, tetapi juga dari bidang ilmu lain. Dapat terjadi kolaborasi yang bisa memperkuat Indonesia di forum KTM WTO ke-14,” ungkap Prita.
Kemudian, dari sisi pengusaha, Policy Manager Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sherly Susilo menilai, peran WTO kian melemah. Padahal, hambatan perdagangan semakin hari semakin membebani pelaku usaha.
”Dunia usaha tidak bisa terus menunggu, tetapi akan secara paralel mendorong reformasi WTO sembari mencari solusi praktis di luar WTO agar usaha bisa terus berjalan,” ujarnya.
Selanjutnya, pengacara (partner) Baker McKenzie Law Firm Pablo Bantes menilai, meski menghadapi berbagai tantangan, WTO merupakan strategi perdagangan yang penting untuk Indonesia.
”Solusi alternatif di luar WTO dinilai belum mampu memberikan kepastian yang memadai, terlebih dengan adanya manfaat WTO yang dirasakan Indonesia melalui sistem Most Favored Nation (MFN),” katanya.
Sumber: Siaran Pers Kemendag | Editor: Intoniswan
Tag: WTO