Zairin Zain: Perda RTRW Tidak Boleh Mencaplok Tanah Warga

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Revisi RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) Kota Samarinda yang sekarang ini dalam persiapan pada tataran teknis, prinsip dasarnya Pemkot Samarinda tidak boleh mencaplok  tanah warga (masyarakat), tapi fungsi ruang untuk pembangunan (ekonomi), kesejahteraan masyarakat, dan lingkungan tetap berkelanjutan.

Hal itu dikatakan Pjs Wali Kota Samarinda, H Zairin Zain menjawab Niaga.asia, Kamis (1/3) di ruang kerjanya. “Saya sudah bertemu sekali dengan tim teknis yang menyiapkan revisi RTRW. Saya juga sudah mengingatkan tim agar bekerja cermat, teliti, dan memperhatikan hak-hak warga, merpehitungkan resiko hukum yang akan dihadapi pemkot apabila ada kesalahan dalam RTRW,” tambahnya.

Semula RTRW Samarinda diatur dalam Perda Nomor 12 Tahun 2002, kemudian diubah dan menetapkan yang baru Perda Nomor 02 Tahun 2014.  Perda RTRW yang baru tersebut mendapat protes keras dari sekitar 14 perusahaan pengembang perumahan. Mereka protes  sebab, tanah mereka yang sudah berada dalam kawasan permukiman bahkan sudah dibangun perumahan diatasnya berdasarkan Perda Nomor 12 Tahun 2002, tapi oleh Pemkot Samarinda didalam Perda Nomor 02 Tahun 2014 diubah peruntukannya  menjadi kawasan hutan kota dan hutan rakyat.

Sebetulnya luas tanah warga yang diubah-ubah fungsinya oleh pemkot menjadi hutan kota dan hutan rakyat sekitar 30% dari luas Samarinda 718 km2, cuma tidak semua masyarakat tahu. Diubahnya-ubahnya peruntukan tanah warga itu baru akan  ketahuan setelah titik koordinat tanah dimasukkan dalam komputer peta tata ruang kota di Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) Kota Samarinda.

Menurut Zairin, Samarinda memerlukan ruang terbuka hijau (RTH) dan hutan kota, tapi dimana letak kawasan yang mau dijadikan RTH dan hutan kota itu harus tepat. RTH bisa disemua kawasan kota, tapi hutan kota tidak bisa disemua kawasan ada.

RTH bisa mengambil 30% dari luasan tanah masyarakat, tapi juga tidak bisa main pukul rata saat menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB). “Kalau warga itu hanya punya tanah 100 m2 kan tidak mungkin diambil 30%, apa lagi yang punya tanah itu anggota keluarganya banyak, perlu rumah ukuran 80 m2,” kata Zairin.

Sebagai pengganti, maka tanah pemkot yang dijadikan RTH, misalnya seperti Taman Samarendah atau kawasan tepian Mahakam. “Pemerintah juga bisa mengambil tanah untuk RTH dari kawasan yang sudah dikuasai pengembang untuk perumahan. Ketentuan resmi yan g lebih tinggi dari perda juga mengharuskan pengembang hanya boleh membangun 70% dari luasan tanahnya, sisanya untuk RTH,” ujarnya.

Untuk membangun hutan kota juga demikian, contohnya tidak bisa tanah warga dalam Kecamatan Samarinda Kota ditetapkan jadi hutan, karena tanahnya sudah hak milik pribadi warga dan Kecamatan Samarinda Kota sudah menjadi kawasan komersial.

“Dalam Perda Nomor 02 Tahun 2014, tanah Yos Sutomo di Jalan Bhayangkara (seberang Plaza Mulia) dijadikan hutan kota. Yos Sutomo keberatan dan minta ganti rugi Rp400 miliar lebih. Pemkot kan tidak punya uang membayar yang begitu,” kata Zairin memberi contoh. Tanah eks hotel Lamin Indah juga dijadikan hutan kota, padahal sejak Samarinda jadi kota, tanah Lamin Indah itu sudah berada dalam kawasan komersial.

“Kesalahan menempatkan hutan kota itu sudah saya minta untuk dikoreksi, kalau tidak dikoreksi akan menghambat pembangunan dan ekonomi kota, selain itu Pemkot bisa bangkrut membayar ganti rugi ke masyarakat yang tanahnya dijadikan hutan kota,” tambahnya.

Pjs wali kota juga menerangkan, ia sudah mengingatkan tim teknis, hutan kota bisa ditetapkan pada tanah warga yang secara teknis tidak bisa digunakan untuk perumahan dan kawasan komersial, misalnya tingkat kemiringannya sampai 45 derajat, atau di kawasan bekas KP (Kuasa Pertambangan). “Hutan kota itu bisanya di pinggiran kota,” kata Zairin.

Kemudian urutan-urutan revisi perda disesuaikan dengan ketentuan yang mengaturnya, ada kajian akademis dari para ahli di perguruan tinggi, melihat fakta sesungguhnya di lapangan, ada konsultasi publik, utamanya dengan pihak-pihak yang sudah menyampaikan pernyataan keberatan atas perda yang mau direvisi (perda lama).

Setelah draft revisi diserahkan ke DPRD Samarinda, diharapkan dewan mencermati lagi dan mengisi draft yang dirasa kurang lengkap, menyesuaikan lagi dengan aspirasi masyarakat. “Intinya revisi RTRW itu tidak bisa dikerjakan diatas meja saja, tidak main caplok tanah warga untuk dijadikan hutan kota atau hutan rakyat. Kesalahan saat di Perda lama tidak boleh terulang lagi,” kata Zairin Zain yang juga menjabat sebagai Kepala Bappeda Kaltim. (001)