87 Persen Tipikor Suap-Menyuap Pengadaan Barang dan Jasa

Ilustrasi. Foto KPK

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah merumuskan tindak pidana korupsi dalam 30 jenis yang kemudian diklasifikasikan ke dalam tujuh kelompok. Yaitu; merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Dari berbagai modus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat perkara yang paling banyak ditangani adalah suap-menyuap dan pengadaan barang/jasa (PBJ). Setidaknya hingga akhir 2022, dari total 1.310 tindak pidana korupsi yang ditangani, KPK mengungkap 867 modus suap-menyuap dan 274 modus PBJ.

Atau, kedua modus perkara itu setara dengan 87% dari keseluruhan perkara yang pernah ditangani KPK. Fakta itu menjadikan upaya pencegahan Korupsi terhadap modus ini punya urgensi tinggi.

Demikian tercantum dalam Laporan KPK Tahun 2022 yang sudah dapat diakses publik di laman resmi kpk.go.id.

Ditegaskan, tindak pidana korupsi adalah kejahatan terorganisir dan terencana. Di mana para pelaku tak jarang telah merancang ‘jalan haramnya’ sejak awal. Yakni dengan menciptakan kondisi atau membuat celah kesempatan untuk terjadinya korupsi sebab, korupsi terjadi karena adanya keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan sebagaimana telaah Jack Bologne dalam Gone Theory-nya. Dalam perkembangannya, rupa korupsi pun bermetamorfosis dalam berbagai modus.

Menurut Ketua KPK, Firli Bahuri, dari kedua modus itu, korupsi terhadap PBJ merupakan modus yang secara langsung mendegradasi kualitas pelaksanaan keuangan atau anggaran negara. Di mana pemerintah selaku kuasa pengguna anggaran, memanfaatkan anggaran negara tersebut untuk pelaksanaan pembangunan nasional, salah satunya melalui proses PBJ.

Sumber: Laporan KPK Tahun 2022.

Banyaknya modus korupsi terhadap sektor ini menjadi ironis. Tatkala pemerintah sebetulnya telah memiliki sejumlah perangkat regulasi yang mengatur pelaksanaan PBJ tersebut. Korupsi telah mengakibatkan keluaran PBJ menjadi ‘cacat’, karena besar kemungkinan berdampak langsung terhadap kualitas produk atau keluaran yang dihasilkan.  Buruknya, masyarakat sebagai penerima manfaat akhir menjadi pihak yang paling dirugikan.

Maka untuk menangkal korupsi pada PBJ, penting melakukan pencegahannya sejak awal. Yakni dengan melakukan pengukuran atau penilaian terhadap regulasi yang menjadi landasan pelaksanaan PBJ itu sendiri.

“Hal itu untuk memastikan pelaksanaan dari regulasi tersebut tidak ada atau setidaknya minim ruang dan kesempatan terjadinya korupsi,” demikian Firli.

Disebutkan, KPK melalui Direktorat Monitoring selanjutnya melakukan penilaian terhadap regulasi yang mengatur pelaksanaan PBJ. Penilaian ini dilakukan menggunakan metode Corruption Risk Assessment (CRA).

“CRA merupakan instrumen pencegahan korupsi yang secara sistematis menganalisis dan menilai faktorfaktor penyebab korupsi dalam regulasi yang telah ada dan/atau masih dalam bentuk rancangan.”

Di mana kajian CRA ini mencakup empat aspek, yaitu kepatuhan, pelaksanaan, administrasi, dan pengendalian korupsi. Aspek kepatuhan terdiri atas tiga kriteria, yaitu beban kepatuhan, kecukupan peraturan disiplin, dan perlakuan istimewa.

Sumber: Laporan KPK Tahun 2022.

Kemudian aspek pelaksanaan, memiliki tiga kriteria, yaitu dasar pengambilan keputusan yang Objektif, pemberian tugas terhadap pihak lain, dan risiko salah alokasi bantuan pemerintah.  Selanjutnya aspek administrasi, mencakup tiga kriteria, yaitu aksesibilitas, transparansi, dan kejelasan layanan publik.

Terakhir, aspek pengendalian korupsi, meliputi dua kriteria, yaitu konflik kepentingan dan keandalan mekanisme antikorupsi.

KPK pun menggunakan instrumen itu untuk menganalisis dua peraturan dan satu rancangan peraturan yang menjadi landasan pelaksanaan PBJ di Indonesia. Yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; serta Draf Rancangan Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Menurut Firli, dari hasil analisis yang dilakukan, KPK menemukan setidaknya enam permasalahan dalam Draf Rancangan Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang tidak selaras dengan aspek-aspek dalam CRA, di antaranya: (1). Permasalahan pada proses bisnis katalog elektronik; (2). Terdapat Penyedia yang terindikasi melakukan korupsi namun tidak masuk dalam Daftar Hitam Sistem Pengadaan Nasional (Pasal 9); (3). Pengaturan Kriteria Repeat Order (RO) belum memadai untuk mencegah terjadinya fraud (Pasal 38 ayat 5);

Kemudian, (4). Penyebutan merek untuk e-purchasing, tender cepat, dan barang/jasa Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat (Pasal 19 Ayat (2) dan (2a)); (5). Potensi terjadinya korupsi karena kriteria kewajiban, preferensi harga, dan pengecualian penggunaan barang/jasa TKDN belum memadai (Pasal 66 dan Pasal 67); (6). Kelemahan Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKAP), yaitu aplikasi yang memuat data atau informasi kinerja penyedia barang/jasa.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: