Mahfud MD Ungkap Motif Bicara Transaksi Mencurigakan Rp349 Triliun

Menko Polhukam yang juga Ketua Komite TPPU Mahfud MD memberikan paparan saat mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (29/3). (Foto Antara via BBC News Indonesia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Menko Polhukam yang juga Ketua Komite TPPU Mahfud MD dalam RDP dersama Komisi III DPR RI mengungkap motif dirinya bicara transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun, secara spesifik di Direktorat Bea Cukai dan Direktorat Pajak Kementerian Keuangan, berawal dari Laporan Transparency Internasional  yang mengatakan IPK  (Indeks Persepsi Korupsi) Tahun 2022, tercatat  34, atau turun 4 point dibandingkan tahun sebelumnya.

Dalam RDP yang dimulai sekira pukul 15.00 WIB dan berakhir pukul 23.00 WIB dipimpin Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, Mahfud melanjutkan, atas turunnya IPK tersebut, Presiden Joko Widodo sangat marah. Saat Presiden menghadiri undangan Peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa Timur, kata Mahfud, dirinya dibawa berangkat bersama dalam pesawat Kepresidenan.

“Presiden meminta kepada saya untuk mencari penyebab turunnya IPK tahun 2022,” ungkap Mahfud.

Setelah itu, kata Mahfud lagi, selang beberapa minggu, dalam rangka melaksanakan perintah Presiden, dirinya mengundang lembaga Tranparansi Indonesia dan Litbang Kompas, serta satu lembaga lagi untuk memaparkan sebab-sebab anjloknya IPK Indonesia.

“Ketiga lembaga yang diundang itu berkesimpulan IPK turnnya karena masih banyaknya pungutan liar di lembaga-lembaga pemerintah saat masyarakat mengurus perizinan atau lainnya dan banyaknya transaksi mencurigakan di Direktorat Bea Cukai dan Direktorat Pajak Kementerian Keuangan,” kata Mahfud.

Kemudian, kata laki-laki dari Madura ini, dia memerintahkan Kepala PPTK Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavanda menghimpun data berkaitan dengan paparan lembaga Tranparansi Indonesia dan Litbang Kompas. Laporan PPATK juga menunjukkan hal yang sama.

“Setelah itu baru saya bicara transaksi mencurigakan di Kemenkeu Rp349 triliun,” tegasnya.

Laporan PPTK yang juga berkesuaian dengan laporan lembaga anti korupsi dan hasil Litbang Kompas transaksi mencurigakan di Kemenkeu dipilah dalam tiga klaster. Pertama;  berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Pegawai Kemenkeu (Rp35 triliun). Kedua, Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai kemenkeu (Rp53 triliun). Ketiga, yang mencakup jumlah terbesar, berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Kewenangan Kemenkeu Sebagai Penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu (Rp260,1 triliun).

“Angka Rp349 triliun clear, karena bersumber dari PPATK dan sudah disampaikan ke Kemenkeu secara berkala sejak 2009-2023 dengan surat resmi dan diberikan secara langsung ke pejabat setingkat Dirjen dan Irjen, dilengkapi dengan berita acara serah terima plus ada tanda tangan yang menyerahkan dan yang menerimakan,” ucap Mahfud.

Sejumlah anggota Komisi III DPR RI mendatangi meja Mahfud MD seusai RDP sekira pukul 23.00 WIB, Rabu (29/3/2023). (Foto detik.News)

Enggak ada data beda. Cuma Sri Mulyani itu menerangkannya begini. Kalau PPATK kan rombongan, misalnya Rafael itu kan ada rombongannya. Ketika diperiksa oleh Sri mulyani, cuma satu yang diambil.

“Jadi ini rombongan, namanya pencucian uang,” tukasnya, menekankan bahwa datanya sama namun cara penafsirannya berbeda.

“Seperti memetik apel satu, ‘oh ini pajak, wah perusahaannya banyak sekali.’ Tapi pajaknya yang dihitung, bukan pencucian uangnya,” ujar Mahfud.

Selain itu, sambungnya, ada pula perkara administrasi yang membuat pembongkaran kasus pencucian uang sedemikian sulit. Sehingga beberapa surat laporan harus diserahkan secara fisik kepada Menteri Keuangan.

Namun, surat-surat tersebut tidak semuanya ditindaklanjuti oleh jajaran di bawah Sri Mulyani.

“Datanya Sri Mulyani salah, iya. Surat yang asli semula dikirimkan by hand. Ini tidak bisa diserahkan dengan surat karena sensitif. Sehingga by hand,” katanya.

Pada konferensi pers usai RDP, Ketua Komisi III Ahmad Sahroni membenarkan perkataan Mahfud. Ia mengatakan bahwa data yang dipegang oleh Mahfud adalah data yang otentik.

“Ada 300 surat yang diberikan oleh Bu Menkeu tapi tidak ditindaklanjuti. Maka itu datanya tidak sama dengan yang dimiliki oleh Bu Menkeu. Nah dari sini sinkronisasi akan digabung, untuk sama-sama diketahui oleh publik,” kata ketua Komisi yang akrab disapa Roni.

Ia pun menyampaikan bahwa kedua pihak akan segera dipertemukan agar dapat dilakukan sinkronisasi data.

“Untuk menemukan tindak pidananya, itu langkah masih panjang. Yang kita ingin ketahui adalah se-detail apa transaksi yang diduga transaksi pencucian uang.

“Ada 491 orang yang tadi pak Menko sampaikan. Oleh karena, itu kalau ada Bu Menteri Keuangan, ini akan kita sinkronisasi, kita sama-sama dudukin untuk menyajikan keterbukaan yang disampaikan Pak Menko,” ujar Roni.

Ada 491 ASN Kemenkeu diduga terlibat TPPU

Pada RDP  Mahfud MD juga menyampaikan rincian hasil pemeriksaan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

“Jumlah entitasnya 491 orang [ASN Kemenkeu]. Jangan hanya bicara Rafael, di sini ada jaringannya,” kata Mahfud dalam rapat terbuka yang disiarkan secara daring.

Namun, Mahfud mengatakan para entitas itu berupa agregat. Artinya, nama-nama dari pihak-pihak yang terlibat TPPU tidak akan diumumkan kepada publik, kecuali mereka sedang diproses secara hukum.

“Ini ada ketentuan di UU tidak boleh menyebut kalau menyangkut identitas seorang, kemudian nama perusahanan, nomor akun, profil identitas yang terlapor nilai tujuan transaksi itu semua tidak boleh disebut,” katanya.

Sebelumnya, ia sempat menyampaikan bahwa terdapat sebanyak Rp300 triliun dugaan transaksi mencurigakan pencucian uang di Kemenkeu. Namun, tidak seluruhnya dilaporkan langsung kepada Kemenkeu.

“Betul. 200 [surat] yang disampaikan ke Kemenkeu. Seratus [surat] lainnya ke kementerian lembaga lain, tapi terkait Bea Cukai,” ungkap Mahfud.

Menuru dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mengetahui mengenai praktek-praktek pencucian uang yang terjadi dalam jajaran Kemenkeu.

“Kesimpulan saya, Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini. Sehingga keterangan terakhir di Komisi XI itu jauh dari fakta,” katanya.

Sebagai contoh, ia menyebut kasus penyelundupan emas hasil pencucian uang cukai yang melibatkan 15 entitas pada 2017. Laporan tersebut diselidiki oleh PPATK, namun surat laporan itu tidak sampai kepada Sri Mulyani.

“Karena bukan dia nipu, dia diberi data itu, data pajak padahal ini data bea cukai. Tadi penyelundupan emas itu, dia enggak tahu siapa yang bohong, tapi ini faktanya.”

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Kemenkeu sepakat untuk menyelesaikan semua LHA  (Laporan Hasil Analisis) yang diduga TPPU dari PPATK yang menyangkut pegawai Kemenkeu maupun pihak lainnya.

“Kemenkeu berhasil mengembalikan Rp7 triliun untuk pajak dan dari Bea Cukai masuk Rp1,1 triliun. Jadi Rp8,1 triliun,” sebut Mahfud.

Penulis: Intoniswan : Sumber: RDP Komisi III DPR RI dan BBC News Indonesia

Tag: