Cerpen Karya: Efrinaldi

Setelah hampir setahun aku dan Santy suka bertemu dan bercerita, aku meminta kejelasan hubungan kami.
“Kita bukanlah pasangan yang sesuai,” kata Santy.
Ini adalah pernyataan yang menohok diriku secara telak. Ketegasan itu kupikir baik bagiku sehingga aku tidak berpikir lebih panjang lagi. Namun, rupanya rasa sakit itu demikian dahsyat. Aku terperangkap dalam dalam diriku. Perginya Santy dari kehidupanku membuat dunia seakan kiamat bagiku.
Aku kehilangan gairah bekerja dan kemudian berhenti bekerja. Aku hanyut dengan memutar lagu sedih tentang percintaan dari tape recorder di masa tahun 90-an itu.
Sampai suatu hari datanglah seorang guru menasehatiku.
“Epi orang brillian selama ini. Ingat itu! Epi harus tunjukkan itu!” Guru itu berkta dengan intonasi yang sangat meyakinkan.
Bagaikan mendapatkan suntikan motivasi aku kembali memikirkan untuk menjalani kehidupanku secara semestinya.
Aku berdiskusi dengan orang yang penasehat rohani. Aku buka persoalanku yang tidak juga move-on dari kegagalan cinta.
Dia mendengarkan aku bercerita panjang lebar. Dia tidak menyela aku bercerita. Sampai akhirnya aku puas mengeluarkan aa yang mendesak di dadaku.
Dia kemudian membersihkan meja baca dengan tissue. Dia hanya berkata. Persoalanmu adalah persoalan anak muda.
“Maaf, walau kamu telah dewasa muda, ini adalah persoalan anak remaja,” katanya seperti tidak ada yang istimewa.
Aku melepaskan ketegangan pundakku. Aku bersandar ke kursi. Aku menghela nafas panjang.
“Demikian sederhananya?” tanyaku.
“Iya, hanya itu!”katanya singkat.
Dia kemudian memberiku nasehat untuk sering-sering membaca Al-Quran terutama surat Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq dan ayat kursi.
Kucamkan sekali nasehat itu. Dia tersenyum dan berkata,
“Masih ada kereta yang akan lewat. Lupakan gadis itu dan bersiaplah menyambut cinta yang baru!”
Serasa rontok segala yang menggelayut di kepalaku dan menyesakkan dadaku. Aku seperti kembali segar seperti dahulu.
*
Aku kemudian mendapatkan gadis lain yang kucintai dan mencintaiku. Ini mengukuhkan kehidupanku dan membuat karirku kemudian berjalan lancar dan terus menanjak sampai aku pensiun di usia pensiun di satu perusahaan saja sejak aku menikah.
Penggalan hidupku yang hanya dua-tiga tahun itu tak kulupakan, tetapi tidak melukaiku sejak aku mendapat pencerahan dari penasehat rohaniku itu.
Bahkan aku kemudian sering menertawai diriku akan betapa aku terlalu lemah menghadapi cobaan itu. Apalagi persoalan itu kemudian aku tahu adalah hal yang sangat lumrah terjadi banyak orang.
*
Aku adalah kehidupan anak muda yang sangat romantis di era 80-an. Kala itu banyak cerpen dan novel percintaan yang kupikir adalah novel-novel picisan. Ditambah lagi film-film serta lagu-lagu cengeng yang membanjiri pasar di zaman itu.
Ada memang kelebihan anak muda zaman itu, yaitu jiwanya sangat halus, sensitif dan menyukai keindahan. Namun, ya …, di situ pula titik lemahnya, persoalan patah hati adalah kejadian yang sangat sering terjadi bahkan banyak orang yang menangisi kegagalan cinta itu dan menikah di usia yang tak muda lagi, bahkan ada yang tidak mau menikah.
Bagaimana dengan anak milenial? Kulihat mereka lebih cerdas masalah ini. Bila tidak ada kecocokan mereka dengan mudah menyelesaikan perasaannya.
Walau cengeng dalam masalah percintaan, anak muda pada zamanku sangat liat dalam memperjuangkan kehidupannya.
Ya, tiap generasi punya kelebihan dan kekurangan.@
Tag: Cerpen