Menjadi Anak Kampus

Cerpen Karya: Efrinaldi

Kampus Institut Teknologi Bandung. (Foto ITB)

Aku kemudian kuliah di Bandung, di perguruan tinggi yang harum namanya yaitu Institut Teknologi Bandung. Juni 1983 aku terbang ke Jakarta dari bandara Tabing Padang dengan pesawat Mandala Airline.

Itulah pertama kali aku naik pesawat udara. Aku terkesima akan cara komunikasi pramugari, baik bahasa verbal maupun bahasa non-verbalnya. Aku pikir mereka adalah orang pilihan yang berkepribadian baik. Aku memperhatikan petunjuk selama di pesawat yang diperagakan pramugari.

Kemudian aku memasang sabuk pengaman di badanku. Setelah beberapa menit pesawat terbang, pramugari menyuguhkan rokok. Ya, rokok yang bisa diisap selama penerbangan. Tidak beberapa lama disuguhkan makan berat.

Pesawat mendarat di bandara Kemayoran. Aku bersama kenalan ibuku yang sama-sama bertujuan ke Jakarta. Kami menuju jalan Matraman Raya. Di suatu rumah makan telah menunggu kakak sepupuku Uda Syaiful. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan orang yang bersamaku terbang dari Padang, aku dan sepupuku naik bajay ke Jalan Menteng Atas Selatan III, tempat sepupuku tinggal. Aku bermalam di sana.

Esoknya aku diantar sepupuku yang lain, Uda Pip, ke Bandung dengan bus umum. Kami merapat  ke rumah saudara istri sepupuku di Jalan Titiran Dalam. Esoknya aku dijemput kakak kelasku Uda Deswin ke Jalan Titiran. Aku bersama Uda Deswin dan Uda Pip menuju asrama KKB ITB  di Jalan Cisitu Lama, tempat Uda Deswin tinggal. Rupanya aku bisa langsung masuk karena memang ada kamar yang kosong.

Uda Pip kembali ke Jakarta. Aku langsung menetap di asrama KKB ITB itu. Mulailah aku menjadi penghuni Kota Bandung yang sangat terkenal di kampungku sebagai kota tempat kuliah anak-anak Indonesia dari berbagai penjuru tanah air.

Uda Deswin menjadi mentorku kuliah di ITB. Tahun pertama bersama adalah tantangan pertama kuliah di ITB. Kata Uda Deswin tahun pertama bersama (TPB) harus diselesaikan dalam waktu dua tahun. Kalau ada kuliah yang belum lulus juga di masa dua tahun, akan di-“drop out”. Uda Deswin memberiku diktat kuliah dan soal latihan kuliah matematika, fisika dan kimia. Tiga mata kuliah itu menjadi kuliah ditakuti mahasiswa tahun pertama bersama.

***

Tibalah saatnya mahasiswa baru diterima resmi di ITB. Pejabat rektorat ITB menyambut kami mahasiswa baru dengan kata-kata, “Selamat datang Putra-putri terbaik Indonesia di kampus ITB!” Sungguh kata-kata itu membesarkan hati. Selanjutnya mulailah kuliah.

Sebagai mahasiswa baru, aku diwajibkan mengikuti dua unit kegiatan mahasiswa. Aku memilih Unit Renang dan Polo air dan Perkumpulan Studi Ilmu Sosial dan Kemasyarakatan. Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Alhamdulilah aku menyelesaikan TPB dalam waktu satu tahun.

Selepas TPB, aku masuk kuliah jurusan. Aku masuk jurusan farmasi. Di jurusan farmasi mulai mendapat pendidikan keras dari dosen senior farmasi. Beliau bilang, “Saya tak setuju dengan kebiasaan ITB memandang Anda semua sebagai putra-putri terbaik Indonesia. Kalau tidak sungguh-sungguh mengasah diri, kalian tidak akan mampu menjadi sarjana farmasi dan apoteker yang kompeten.”

Aku sadar bahwa aku masuk kawah candradimuka, kampus terkenal di negeri ini yang lulusannya sangat ditunggu masyarakat.

Aku kemudian masuk Himpunan Mahasiswa Farmasi ITB “Ars Praeparandi”. Untuk bisa masuk harus mengikuti masa orientasi, yaitu penggemblengan oleh mahasiswa senior di himpunan. Tidak terlalu sulit, sebab masa orientasi ini cuma dua minggu.

Aku kemudian kembali sibuk kuliah dan mulai berorganisasi.  Tahun kedua di jurusan, aku menjadi redaktur buletin mahasiswa. Tahun ketiga aku menjadi ketua I himpunan. Aku belajar berorganisasi selain tetap menulis essay di buletin mahasiswa.  

Kuliah dan beroranisasi mengisi kehidupanku selama 6,5 tahun. Aku lulus memperoleh gelar sarjana dan apoteker. Alhamdulillah!

Tag: