Cerpen Karya: Efrinaldi

Aku masuk warung kebutuhan harian di kampungku sewaktu aku baru saja pulang merantau selama hampir 30 tahun. Kebiasaanku sewaktu tinggal di kota tak perlulah basa-basi. Aku langsung ke penjaga toko dan minta keperluanku.
Rupanya ada orang dekat sana tidak suka dengan caraku. Dia melotot dan memasang muka marah Aku kaget. Apa salahku? batinku.
Aku kemudian menceritakan pada sahabat lamaku yang selama ini tinggal di kampung, tidak pernah merantau. Katanya, “Mungkin kamu perlu lebih ramah. Senyuman atau teguran kecil saja sudah cukup bagi mereka. Caramu yang cuek itu mungkin ditafsirkan sebagai penyepelean.”
“Tapi sama sekali aku tidak bermaksud menyepelekan,” kataku membela diri.
“Kalau di kota itu mungkin hal lumrah. Tapi ini kampung,” ujarnya agi.
“Aku paham Terima kasih masukannya,” ujarku.
***
Peristiwa itu mengubah diriku. Aku menjadi lebih peduli dan lebih ramah dengan orang yang kujumpai di kampung. Bila bertemu di jalan baik berjalan kaki atau bersepeda motor aku menegur, minimal tersenyum. Bila bertemu di warung bahkan pasar kaget aku bisa bertegur sapa bahkan bercerita-cerita kecil.
Di lingkungan masjid pun makin banyak orang mau mendekat denganku. Kampung memang adalah ibarat keluarga besar, orang kenal satu sama lain. Orang yang tidak mau demikian akan terasing. Namun di luar kampung orang bisa saja lebih masa bodoh, layaknya di kota. Pasar di luar kampung aku kunjungi seperti aku ke pasar di kota saja, tidak terlalu banyak basa-basi. Hanya bila bertemu orang sekampung di kota tetap bertegur sapa.
Suatu hari aku memberanikan diri duduk di warung kopi di kampungku. Masih terasa canggung. Tapi aku menguatkan tekadku untuk bisa menyatu dengan alam kampung. Aku meluaskan pandanganku pada orang-orang pengunjung warung kopi sambil tersenyum.
Kemudian aku menepuk pundak seseorang dekatku dan bersiap duduk dekatnya. Rupanya caraku membuat orang simpatik. Aku akhirnya bisa duduk dengan nyaman di warung kopi. Aku memesan kopi dan mengikuti cerita-cerita yang terjadi di sana. Tidak terlalu sulit ternyata, sebab pembicaraan mengalir begitu saja.
***
Aku menceritakan tentang peristiwa dan perubahan diriku akhir-akhir ini. Istriku bilang, “Biasa-biasa sajalah. Orang di mana saja sama saja. Cuma kalau berhadapan muka orang maunya disenyumin atau ditegur. Di kota pun demikian.”
Ini membuatku merasa santai. Namun, aku pikir adalah baik bila aku memang menjadi pribadi lebih ramah sekarang. Selain membuatku lebih bahagia juga bisa membahagiakan orang lain.
Ternyata ada kejadian orang yang pernah melotot padaku di warung dulu itu berkelahi dengan orang lain yang baru saja pulang kampung. Rupanya bertemu dengan orang yang sama-sama keras kepala. Artinya, bukan aku yang bermasalah, melainkan dia yang bermasalah.
Namun, aku ambil saja hikmahnya, perjumpaan aku dengan orang itu mendorongku untuk lebih baik, lebih rajin bertegur sapa.minimal tersenyum ramah.@
Tag: Cerpen