Bangku Kosong

Cerpen Phelia Kaniswan

Ilustrasi

Pukul enam pagi, tepatnya ketika matahari mulai naik menerangi bumi, Satria, pria paruh baya dengan jenggotnya sudah memutih itu menaiki sebuah angkot hijau jurusan pasar Pagi. Rutinitas pria paruh baya itu sudah hafal oleh sang supir angkot, sampai-sampai keduanya jadi akrab.

“Dua bangku pojok belakang dekat jendela” ucap Satria dengan senyum kecilnya sembari mengacungkan dua jari ke supir sambil memasuki angkot.

Sang supir angkot, Nanang hanya mengangguk dan tersenyum maklum menanggapi hal tersebut. Rutinitas harian Satria itu tidak hanya disadari oleh sang supir tetapi juga para penumpang lainnya dengan pandangan yang berbeda-beda. Namun, tak satu pun dari mereka yang benar-benar berani bertanya walaupun rasa penasaran di benak begitu besar.

Suatu hari, ketika angkot begitu penuh dan seorang ibu hamil nampak bingung hendak duduk di mana,  Satria memberikan bangku kosong disisinya. Dia sendiri tak mau menatap ibu hamil yang diberinya tempat duduk tersebut.

Penumpang lain yang menyadari hal tersebut terdiam sambil menundukkan kepala. Begitu angkot berhenti di pasar Pagi, Satria turun dan membayar ongkos, termasuk bagi ibu hamil yang duduk di sampingnya. Kejadian itu tak luput dari pandangan para penumpang yang berada di dalam angkut.

Setelah angkot berjalan lagi, seorang pemuda yang juga cukup sering menaiki angkot yang sama berucap; “Om, saya sering liat si bapak naik angkot ini buat ke pasar Pagi tapi kenapa bayar bangku dua terus?”

Beberapa penumpang yang lain mengangguk memberi tanda juga ingin tahu jawaban si supir angkota. Sang supir yang diberi pertanyaan menghela nafas dan kembali menjalankan angkot sembari mulai bercerita bawha, Satria adalah tetangganya satu RT, meski tak tinggal berdekatan.

Nanang menerangkan, dulu pak Satria dan istrinya bu dewi sering menaiki angkot saya ke pasar Pagi. Keduanya membeli keperluan rumah tangga setiap dua minggu sekali, biasanya setiap hari sabtu. Mereka berdua selalu duduk di pojok belakang dekat jendela.

Keduanya begitu harmonis walaupun tak memiliki seorang anak, tetapi dua tahun yang lalu istrinya meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Kejadian itu  membuat pak Satria sangat berduka.

“Itulah mengapa pak Satria selalu membayar untuk dua bangku, katanya supaya istrinya nggak sendiri,” kata Nanang.

Para penumpang yang mendengar hal tersebut terdiam dan menunduk dalam mendengar cerita sang supir sambil berkata dalam hati; “Pak Satria benar-benar pria yang selalu mencintai istrinya.”

*) Phelia Kaniswan adalah pelajar kelas XI SMA Negeri 10 Samarinda

Tag: