Asal Muasal Negeri Pinang Sendawar dan Kota Bangun

Tari Gantar dari Dayak Tunjung dan Dayak Benuaq sebagai ilustrasi. Tarian ini turut memeriahkan perkawinan Aji Tulur Dijangkat dan Muk Bundar Bulan. (istimewa)

LEGENDA tentang raja-raja suku Dayak ternyata ada yang berhubungan dengan suatu peristiwa dan tempat. Sebut saja cerita tentang asal usul sebutan Pinang Sendawar dan Kota Bangun seperti yang dikutip dari buku Khazanah Seni Tradisi Kalimantan Timur terbitan Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur.

Di dalam legenda yang berakar dari sastra tutur Dayak Tunjung, diceritakan suatu saat Muk Bandar Bulan sebagai pimpinan masyarakat Tunjung meminta kepada tokoh suku Tunjung, Kemuduk Bengkong untuk menyediakan beberapa buah perahu lengkap dengan beberapa pemuda yang bertubuh kuat.

Muk Bandar Bulan pergi ke kampung Lenggang untuk membeli ayam jantan yang berbulu putih bersih, berjambul, dan berjambang. Ayam jantan yang dimaksud ialah ayam milik Aji Tulur Dijangkat yang bernama Jong Perak Kemudi Basi.

Setelah semua siap, maka berlayarlah Muk Bandar Bulan beserta anak buahnya pergi ke kampung Lenggang. Demikian juga halnya dengan Aji Tulur Dijangkat. Setelah menimbang-nimbang ayam jantannya maka ia minta kepada ayahnya supaya disiapkan perahu-perahu lengkap dengan awak kapalnya yang berjumlah 40 laki-laki dan 40 perempuan.

Permintaan itu dimaksudkan untuk pergi ke kampung Londong untuk membeli ayam betina milik Muk Bandar Bulan atas perintah Nayuk Sanghyang Juata Tonai. Setelah semuanya siap, maka berangkatlah mereka menuju kampung Londong.

Armada Muk Bandar Bulan maupun armada Tulur Dijangkat dalam perjalanan tidak mendapat gangguan. Selamat di perjalanan. Kedua armada itu bertemu di rantau Gonali. Kedua ayam dalam dua kapal itu berkokok sehingga memberikan perhatian kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan maksud dari hati masing-masing.

Kedua pemimpin rombongan itu saling bertemu dan membicarakan tujuan mereka. Setelah maksud mereka terungkapkan akhirnya Aji Tulur Dijangkat menikah dengan Muk Bandar Bulan.

Para pengikut Aji Tulur Dijangkat maupun pengikut Muk Bandar Bulan akhirnya membuat pondok-pondok. Setelah rampung maka jadilah perkampungan dan diberi nama Larak Kota.
Untuk mengenang dan menghormati pernikahan pemimpin mereka, rakyat mengadakan bermacam-macam kesenian maupun upacara adat. Negeri itu akhirnya berganti nama menjadi kerajaan Pinang Sendawar.

Sejarah terjadinya nama Pinang Sendawar ialah pada suatu saat Aji Tulur Dijangkat mengulurkan tangannya ke dalam sebuah pintu. Saat tangan ditarik maka tangannya berisi dua buah pinang Sendawar. Pinang yang di tangan kiri diberikan kepada istrinya, sedangkan di tangan kanan untuk dirinya sendiri.

Pernikahan Aji Tulur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan melahirkan empat anak laki-laki. Adapun anak laki-laki yang pertama bernama Sualas Guna sedangkan anak kedua bernama Nara Guna dan kemudian lahir anak ketiga bernama Jolihan Bena dan anak terakhir bernama Puncan Karna.

Saat anak terakhir lahir dengan diiringi bermacam-macam keajaiban alam, seperti guruh yang bersaut-sautan, topan yang sangat kencang melanda negeri Pinang Sendawar yang menyebabkan banyak pohon tumbang. Tetapi setelah anak itu lahir maka keajaiban alam itu berakhir dan tenang kembali. Anak yang lahir itu bernama Puncan Karna, seorang yang tidak bercacat dan memiliki bermacam ilmu pengetahuan.

Pada waktu Aji Puncan Karna berumur 17 tahun, ayahnya memanggil keempat anaknya dengan maksud menyerahkan kekuasaan kerajaan kepada salah satu anaknya. Agar tidak terjadi perebutan, maka ayahnya membuat sayembara, yaitu barang siapa yang dapat menyeberangi sungai Mahakam tujuh kali pulang balik dengan membawa sebuah gong pada tempat bujalnya, maka ialah yang pantas diserahi kerajaan Pinang sendawar.

Semua putra menyetujui dan akan melaksanakan perintah ayahnya. Yang pertama melaksanakan perintah ialah anak pertama Sualas Guna. Ia dapat menyeberangi sungai Mahakam sebanyak tujuh kali bolak balik sambil membawa gong. Kemudian anak kedua, Nara Guna. Ia tidak berhasil karena hanya mampu menyeberangi empat kali.

Kemudian anak ketiga Jelihan Bena. Sebetulnya ia mampu melaksanakan tugas itu, tapi karena mendengar suara sehingga ia lari ke dalam hutan. Pada waktu Jelihan hampir sampai ke tepi sungai, orang-orang yang melihat berteriak, ayau, ayau, ayau. Mendengar teriakan itu, ia kemudian melepas gong dan terus lari ke hutan. Ia mengira teriakan orang-orang itu mengandung ancaman terhadap dirinya, yaitu memenggal leher (mengayau).

Giliran yang terakhir, yaitu Puncan Karna. Ia melaksanakan tugas itu dengan mudah. Malahan melebihi syarat dari sang ayah.

Setelah tiba di tepi, maka ayahnya menyuruh untuk meninggalkan negeri Pinang sendawar, pergi ke negeri Kutai untuk menambah wawasan dan memperluas sebagai bekal menjadi raja. Hal ini didasarkan perintah oleh Nayung Sanghyang Juata Tonai.

Setelah pergi, maka Puncan Karna pada suatu malam bermimpi ditemui neneknya yang bernama Sanghyang Naga Salik dari Khayangan.

Dalam mimpi itu ia diberi tahu tentang raja Kutai pada waktu itu yaitu Maharaja Sultan yang mempunyai empat saudara laki-laki, yang bernama: Maharaja Sakti, Maharaja Suaradiwangsa, Maharaja Indrawangsa dan Maharaja Dharmawangsa

Di samping empat saudara laki-laki itu beliau juga mempunyai dua saudara perempuan yang bernama Aji Dewa Putri dan Aji Ratu Putri. Oleh neneknya, Aji Puncan Karna juga diberi bermacam-macam ilmu pengetahuan. Setelah mimpi bertemu neneknya, Aji Puncan Karna terbangun. Karena itu tempat di mana Puncan Karna bermimpi dan terbangun sampai sekarang kota itu dinamai Kota Bangun.

Penulis : Hamdani | Editor : Saud Rosadi

Tag: