Cerpen: Ida, Teman Belajarku

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi https://www.kibrispdr.org/detail-10/sketsa-gambar-siswa-belajar.html#google_vignette

Sore itu aku mencuci sepeda motorku di pinggir kolam ikan rumah ibuku. Sepeda motor bebek merah itu adalah sahabatku sejak aku kelas tiga SMP. Sudah dua tahun motor ini aku pakai. Sudah beberapa gadis pernah aku bonceng.

Aku cuma memakai timba menyiramkan air kolam. Kemudian memakai kuas membersihkan kotoran yang yang menempel kuat di bagian bawah mesin dan roda. Setelah bagian kotoran berat terbersihkan, aku memakai kanebo dan air sabun untuk semua bagian sepeda motor.

Hampir selesai pekerjaan mencuci motor itu, datanglah Ida memakai sepeda motor bebeknya berwarna hitam.

Ida berhenti tepat di samping aku mencuci motor. Dia mematikan sepeda motornya dan memasang standar samping. Dia tetap duduk di sadel sepeda motornya. Ida memakai kaos  berwarna putih berlurik hitam horizontal.

Rambutnya yang keriting dibiarkan tergerai sebahu. Ida memakai rok katun berwarna hijau lumut. Wangi cologne tercium segar. Ida sepertinya baru saja mandi sore.

Aku asyik saja melap sepeda motorku, seperti tidak menghiraukan Ida datang. Ida terlihat santai saja, sebab aku memang orangnya kadang cuek dan pendiam.

Setelah beberapa lama, Ida berkata, “Kok kamu diam-diam saja? Nggak suka, ya aku datang?”

“Biasa-biasa saja. Tidak ada yang berbeda,” kataku sekenanya.

“Tapi, kulihat ada bedanya dari biasanya,” balas Ida.dengan sedikit judes.

Aku peras lap motor, melipatnya dan meletakkan dalam kotak di samping badan motor di bawah sadel.

“Ayuk, kota masuk ke rumah!” kataku pada Ida.

Aku menghidupkan sepeda motorku dan menuju halaman rumah ibuku. Ida mengikuti dari belakang. Seperti biasa, Ida akan duduk di salah satu kursi meja belajar. Dia duduk dengan memain-mainkan kunci sepeda motornya, sementara aku pergi ke kamar mandi di sebelah kamar belajar untuk mencuci tangan dan kakiku dengan sabun dan air bersih.

Aku kembali ke kamar belajar. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Ida. Di meja seperti biasa tergeletak buku-buku pelajaran. Selalu ada vas bunga berisi air dengan bunga keladi kecil berwarna hijau polos.

“Aku kesulitan mengerjakan dua soal PR matematika. Aku sudah buat, tetapi aku ragu apakah benar atau salah.” kata Ida membuka pembicaraan.

“Mana, coba kulihat,” kataku sambil mengacungkan tangan.

Ida memberikan bukunya. Aku pun menerimanya dan mulai membaca jawaban PR yang telah dibuat Ida. Kulihat memang berbeda dengan jawabanku.

“Sepertinya kamu memang keliru. Aku menjawabnya seperti ini.” kataku mengacungkan buku PR-ku.

Ida memegangnya. Tetapi matanya menatapku. Dia berkata perlahan, “Biasanya kamu duduk bersebelahan denganku kalau hanya kita berdua yang sedang belajar bersama.” Mata Ida seperti menyelidik.

“Nggak ada apa-apanya. Ayo kita lanjutkan membahas soal itu,” kataku tanpa beringsut dari kursiku.

Ida kemudian memperhatikan jawabanku. Ida kemudian berkata bahwa dia mengerti kesalahannya dalam menjawab soal. Ida menulis ulang jawaban soal PR-nya. Ida terlihat asyik menulis dan aku pergi meninggalkan Ida. Aku pergi ke taman di halaman. Memperhatikan bunga mawar yang mulai mekar.

“Epi…., ke sinilah! teriak Ida dari dalam kamar.”

Aku masuk ke kamar. Ida berkata kalau dia telah selesai mengoreksi dua jawaban PR-nya. Ida kemudian berkata, “Tidak dapat disembunyikan. Kamu memang berbeda dengan sebelumnya. Apa yang terjadi di antara kita?”

Aku mulai menanggapi pertanyaan Ida. Aku pandangi Ida dengan sungguh-sungguh.

“Aku kecewa!” kataku

“Kecewa kenapa?” kejar Ida.

“Persahabatan kita telah kamu nodai dengan persangkaan yang melukai hatiku,” cetusku

“Aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan!” balas Ida.

Aku mengendurkan otot-otot pundakku yang menegang. Aku menarik nafas panjang.

“Ceritakanlah padaku!” desak Ida.

Aku kemudian memegang-megang bolpoin di meja.

“Minggu lalu kamu berboncengan dengan Rus. Aku tahu itu. Tidak masalah bagiku, sebab Rus adalah temanku juga,” kataku.

“Terus, apa masalahnya?” kejar Ida.

“Yanti bercerita padaku sehari setelah itu. Orang melihat aku cemburu buta melihat kejadian kamu berboncengan dengan Rus,” jelasku.

Ida diam saja, dan aku melanjutkan ceritaku,

“Pasti itu berasal dari ucapanmu. Sebab tidak mungkin Yanti mengada-ada. Aku tidak cemburu apa-apa. Kita selama ini kan berteman saja.”

Ida berdiri. Dia berkata dengan setengah berteriak,

“Ini adalah fitnah. Aku akan mencari Yanti sekarang juga!”

Ida berlari ke luar kamar, naik ke sepeda motornya, menstarter dan segera melaju ke luar halaman rumah. Aku mengejar Ida, rupanya Ida sangat gesit dan Ida telah melaju ke jalan lurus menuju jalan raya.

Aku kemudian tidur-tiduran di tempat tidurku sambil mendengarkan lagu pop. Tidak beberapa lama, terdengar Ida memanggilku dari  halaman rumah.

“Epi, ini aku datang membawa Yanti.”

Aku segera ke luar. Rupanya Ida memang datang dengan Yanti.

“Ayo, masuk!” kataku.

Ida dan Yanti duduk bersebelahan. Aku duduk di seberangnya.

“Yanti, coba jelaskan apa yang kamu katakan pada Epi enam hari lalu?” kata Ida pada Yanti.

Yanti kelihatan ketakutan sambil terheran-heran. Dia tidak menjawab apa-apa. Aku pun terdiam.

Lama kami bertiga terdiam. Mungkin masing-masing mengerti apa yang telah terjadi tanpa harus dijelaskan lagi.

Kemudian ketegangan mulai buyar. “Itu mungkin cuma gunjingan teman-teman,” ujar Yanti kemudian.@

Tag: