DPRD Kaltim Masih Cari Solusi Ganti Rugi Lahan Transmigrasi di Simpang Pasir

Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar RDP dengan Pemerintah Provinsi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Biro Hukum, kuasa hukum warga, serta sejumlah perwakilan masyarakat bekas transmigran yang belum mendapat ganti rugi atas lahannya di Simpang Pasir di gedung E DPRD Kaltim, Rabu (30/4/2025). Foto : Nai/Niaga.Asia.

SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Polemik ganti rugi lahan eks transmigrasi di Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, Samarinda, kembali mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPRD Kalimantan Timur, di gedung E DPRD Kaltim, Rabu (30/4/2025).

RDP ini dipimpin langsung oleh Sekretaris Komisi I, Salehuddin, dan menghadirkan perwakilan dari Pemerintah Provinsi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Biro Hukum, kuasa hukum warga, serta sejumlah perwakilan masyarakat pemilik lahan.

Sebagai informasi, total pemilik lahan yang tanahnya sudah dipakai pemerintah untuk membangun stadion dan lainnya berjumlah sekitar 300 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 kepala keluarga telah meninggalkan lahan. Sementara itu, sebanyak 84 kepala keluarga telah menerima kompensasi lahan.  Saat ini menyisakan 118 kepala keluarga yang memerlukan penyelesaian lebih lanjut.

Salehuddin menyampaikan bahwa persoalan ini telah berlangsung cukup lama, bahkan sebagian lahan telah dieksekusi dan dinyatakan selesai oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, masih ada perbedaan pandangan soal bentuk kompensasi untuk 118 KK yang tersisa.

“Putusan pengadilan menyebutkan bahwa ganti rugi berupa pergantian lahan. Namun dalam pelaksanaannya, tidak mudah, Pemprov menawarkan lahan pengganti di Kutai Timur dan Paser, tetapi masyarakat menolak karena lokasinya jauh dari tanah asal mereka,” jelas Salehuddin.

Ia menegaskan, DPRD bersama seluruh pihak terkait sedang mencari celah hukum untuk menyelesaikan polemik ini secara adil dan sah.

“Kami mendukung penuh agar masyarakat mendapatkan haknya, namun tetap berdasarkan prinsip tata kelola keuangan daerah yang baik dan tidak melanggar aturan,” tambahnya.

RDP ini menjadi pertemuan ketiga sejak 2017, namun belum menghasilkan keputusan final. DPRD berjanji akan terus mengawal persoalan ini hingga tuntas, bahkan berencana menjadwalkan pertemuan intensif dengan Gubernur untuk mencari solusi cepat dan legal.

“Intinya, kami ingin masyarakat mendapatkan haknya sesuai hukum. Mau ganti rugi uang atau lahan, tergantung kesepakatan bersama. Tapi harus jelas, sah, dan bisa dipertanggungjawabkan,” terangnya.

Kepala Disnakertrans Kaltim, Rozani Erawadi, menyebut pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses hukum dan kebijakan kepada Biro Hukum. Namun, ia menegaskan komitmen Pemprov untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

“Sudah ada 70 KK dan 14 KK yang dibayarkan sebelumnya dengan nilai Rp500 juta per KK, dan itu telah diperiksa oleh BPK. Jadi Pemprov sebenarnya punya itikad baik. Hanya tinggal 118 KK lagi yang masih dalam proses,” ujarnya.

Bentuk komitmen ini salah satunya dibuktikan dengan penyelesaian lahan warga sebanyak 70 Kartu Keluarga (KK) dan 14 KK di wilayah yang sama. Dimana perkara tersebut sudah dieksekusi diperiksa oleh BPK dan dinyatakan sudah tuntas.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3381 K/Pdt/2022, yang memutuskan perkara Nomor 49/Pdt.G/2019/PN Smr, Pemprov Kaltim membayar uang pengganti tanah/lahan seluas 15 ribu meter persegi (m2) per KK dengan nilai Rp 500 juta. Sehingga Rp 500 juta dikali 70 KK maka total menjadi Rp 35 miliar.

”Berdasarkan putusan pengadilan yang mengikat disebutkan jika pemerintah provinsi harus melakukan pergantian lahan. Untuk itu lembaga eksekutif ini menawarkan pergantian bukan di sekitar lahan yang disengketakan. Melainkan di Kutai Timur dan Paser. Namun masyarakat menolak hal ini karena berada jauh dari lahan awal mereka.” tuturnya.

Karena tidak ada kesepakatan yang sama antara kedua belah kelompok, maka saat ini pihaknya tengah mencari solusi baru agar dapat diterima semua pihak. Seperti meminta fatwa hukum, pendampingan serta saran hukum.

Rozani menegaskan, Langkah-langkah ini, merupakan bagian dari itikad baik dari pemerintah. Apabila putusan pengadilan menyatakan kompensasi bisa dilakukan dengan pembayaran ganti rugi, maka pihaknya pun akan memfasilitasi.

Namun dengan catatan, prosesnya tetap melalui verifikasi dan validasi, agar dana benar-benar tersalurkan kepada warga yang berhak.

”Kalau nanti fatwa menyebut bahwa bisa dibayar dengan uang senilai Rp500 juta per KK misalnya, dan Pemprov setuju, maka hal itu bisa saja dilakukan. Intinya, pemerintah akan taat pada hukum dan berkomitmen menjalankan keputusan pengadilan atau kesepakatan bersama yang sah”  katanya.

Sementara itu, kuasa hukum warga, Yafet Deppagoga, mengungkapkan rasa kecewanya atas lambannya penyelesaian. Ia menyebut persoalan ini sudah bergulir sejak 2017 dan telah inkrah di Mahkamah Agung, namun hingga kini belum dieksekusi.

“Kami sudah sembilan kali mengajukan ke Pengadilan Negeri, dan ini perkara yang paling sering dibahas tapi tidak pernah tuntas. Bahkan MA sendiri menyatakan tidak perlu fatwa lagi jika ada kesepakatan dari kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat,” ujar Yafet.

Ia menyebut jika pemerintah setuju memberikan kompensasi uang senilai Rp500 juta per KK, maka persoalan bisa selesai dengan total anggaran Rp59 miliar.

“Masalahnya, ada oknum di dalam pemerintahan yang tidak ingin warga dibayar dengan uang, padahal ini soal keadilan,” pungkasnya.

Penulis : Nai | Editor : Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: