
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Isu ketimpangan perhatian terhadap sektor perikanan air tawar mencuat dalam diskusi panjang Forum Lintas Perangkat Daerah (PD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) setelah Ali Sadikin, perwakilan masyarakat dari Kutai Barat bicara menurunnya hasil tangkap ikan dan kualitas air kepada Irhan Hukmaidy, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kaltim.
Ali Sadikin menyampaikan keresahan daerah-daerah non-pesisir seperti Kabupaten Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Kota Samarinda yang dinilai luput dari fokus kebijakan dalam sektor kelautan dan perikanan.
Dalam forum serius yang membahas Rencana Strategis (Renstra) PD tahun 2025–2029 dan Rencana Kerja (Renja) 2026 itu, Ali menyoroti paparan DKP Provinsi Kaltim yang dinilai lebih berorientasi pada wilayah laut.
“Tadi dalam pembahasan Bapak, mungkin karena waktunya singkat, Bapak lebih fokus kepada laut. Padahal ada tiga kabupaten/kota yang tidak punya laut, salah satunya Kutai Barat,” ujarnya, Rabu (23/4) di Kantor Dinas Lingkungan Hidup jalan MT Haryono, Samarinda.
Ali menekankan bahwa Kutai Barat justru menghadapi tantangan serius dalam sektor perairan darat, terutama yang menyangkut penurunan hasil tangkapan ikan dan buruknya kualitas air Sungai Mahakam.
“Produksi ikan tangkap kami sudah sangat berkurang, Pak. Padahal Sungai Mahakam ditetapkan sebagai perairan kelas I. Tapi kenyataannya, nilai TSS dan pH sangat tinggi dan fluktuatif. Ini sangat berpengaruh pada kesehatan ikan dan produktivitas budidaya,” paparnya.
Ia mencontohkan, tingginya Total Suspended Solids (TSS) yang menyebabkan insang ikan menjadi tersumbat lumpur, sedangkan pH yang tinggi membuat ikan seperti ikan mas rentan terserang penyakit kulit.
Kondisi ini disebutnya sebagai tantangan nyata yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor, terutama Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan.
“Kami mohon betul perhatiannya, Pak. Karena bagaimanapun ini juga menjadi persoalan bagi kita,” jelasnya.
Menanggapi hal itu, Kepala DKP Kaltim, Irhan Hukmaidy, menjelaskan bahwa kewenangan DKP provinsi memang sangat terbatas. Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan sektor kelautan untuk kabupaten/kota diambil alih oleh provinsi, namun dengan fokus hanya pada wilayah laut sejauh 0–12 mil dari garis pantai.
“Memang sejak UU 23/2014, kewenangan kami lebih terkonsentrasi di laut. Untuk perairan umum dan darat, intervensi kami sangat terbatas, hanya sebatas pembinaan. Karena itu, nomenklatur dinas di kabupaten dan kota juga banyak yang menghapus kata ‘kelautan’,” terang Irhan.
Meski begitu, ia tidak menutup kemungkinan adanya kolaborasi jika ditemukan kasus konkret terkait penurunan kualitas perairan. Irhan membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan laporan resmi jika mendapati ikan-ikan dalam kondisi tidak sehat, agar dapat dilakukan inspeksi oleh pihaknya.
“Kalau Bapak merasa ada ikan dalam kondisi tidak sehat atau mati karena kualitas air, silakan bersurat ke kami. Kami akan selalu siap melakukan inspeksi dan kajian terhadap kondisi tersebut,” tambahnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV Diskominfo Kaltim
Tag: AirPerikanan