Kesabaran

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi

“Sabarlah, Bung!” kataku pada sahabatku yang muram.

“Ya, aku sabar. Tapi aku tidak melihat jalan keluar persoalanku,” cetusnya dengan  mata nanar.

“Apa kau tidak punya saudara yang bisa membantumu?” tanyaku lagi.

“Ada, tetapi mereka punya tanggung jawabnya masing-masing juga,” jawabnya.

Dita, sahabatku, kemudian membereskan kertas-kertas di mejanya. Dia baru saja bercerita padaku tentang usahanya yang macet dan terlilit hutang. Istrinya juga tengah hamil tua.

Aku menarik nafas. Mungkin dia perlu pinjaman uang. Tetapi aku tidak bisa meminjamkannya karena aku juga punya anggaran belanja sendiri yang harus aku amankan.

“Mungkin kamu bisa meminjam uang di bank,” kataku

“Aku tidak bisa lagi meminjam. Semua asetku telah aku jaminkan di bank,” cetusnya.

Suara anjing menggongong di kejauhan. Ada kesedihan yang terhembuskan angin dari jendela.

Pohon mangga di kebun belakang rumah terlihat berputik. Pucuknya bergoyang-goyang ditiup angin. Burung balam hinggap di dahannya. Burung balam bersekutu,

“Tur, ku tu, tu, tu …,”

*

Aku kembali ke rumahku. Cerita sahabat tadi membuatku terhenyak. Kemaren, tetanggaku meminjam uang seratus ribu. Katanya untuk membeli  buku anaknya yang masuk SMP. Aku  meminjamkannya. Ya, sejumlah itu aku bisa bantu. Tetapi lebih dari itu aku tidak bisa. Beberapa kali tetangga pinjam uang, belum dikembalikan dan minta pinjaman lagi. Terpaksa aku tolak dengan halus.

Aku orang biasa-biasa saja, tidak kaya dan tidak miskin. Tetapi aku dan istriku selalu punya rencana keuangan. Kami menyesuaikan gaya hidup kami dengan kemampuan kami. Kami makan sederhana saja.

Menghemat listrik, BBM dan mengurangi belanja yang bisa digantikan dengan cara lain, misal menanam sayuran dan buah-buahan untuk mengurangi belanja dapur.  Dengan demikian uang pensiunku cukup untuk biaya kehidupan kami berdua, aku dan istriku.

Melihat kenyataan banyak orang kesulitan ekonomi, rasanya kata-kata motivasi tidak bermakna lagi diberikan. Aku pun jadi suka menutup mulut. Hanya membathin dan berdoa agar orang yang ditimpa kesusahan diberikan jalan keluarnya.

*

“Uni, mau beli ikan?” teriak seseorang di halaman rumah.

Istriku sedang di dapur. Aku ke luar rumah menengok penjual ikan yang suka menjual dagangannya ke rumah kami dua kali seminggu.

“Ada ikan emas besar aku bawa. Mungkin Uni mau beli,” katanya.

“Sebentar, ya. Uni sedang memasak di dapur. Aku panggilkan dulu.,” kataku.

Aku pergi memanggil  istriku. Istriku ke luar menemui penjual ikan.

Setelah berunding kulihat istriku membeli seekor ikan mas. Mungkin seberat satu kilogram. Istriku  mengambil uang ke kamar. Setelah uangnya diberikan, penjual ikan pergi dari rumah kami.

Aku pernah bercerita dengan penjual ikan itu. Dia katakan bahwa suaminya bertani. Dia terpaksa juga harus bekerja agar anak-anaknya bisa sekolah. Waktu itu aku katakan kalau dia pejuang kehidupan. Dia tersenyum mendengar komentarku. Senyum yang memberikan kedamaian, sedamai  wajahnya.

Masya Allah!

Tag: