
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kuasa hukum Hairil Usman (ahli waris dari almarhum Djagung Hanafiah), Jamaluddin dan Mukhlis Ramlan, memaparkan kronologi penguasaan tanah yang mereka klaim sah milik kliennya, berdasarkan akta jual beli dari tahun 1988 dan kini dalam sengketa dengan Keuskupan Samarinda.
“Klien kami adalah ahli waris almarhum Djagung Hanafiah yang memiliki bidang tanah seluas kurang lebih 4.875 meter persegi, diperoleh dari pembelian kepada Ibu Maimunah pada tahun 1988,” ujar Mukhlis Ramlan dalam RDP dengan Komisi I DPRD Kaltim, Selasa (10/6/2025).
Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandy, mengatakan, Komisi I ingin menengahi sengketa tanah seluas kurang lebih 4.875m2 yang terletak di Jalan Damanhuri II, RT 29, Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Kota Samarinda antara ahli waris almarhum Djagung Hanafiah, Hairil Usman dengan Keuskupan Samarinda, agar dapat diselesaikan melalui musyawarah oleh keduabelah pihak.
Turut hadir dalam rapat tersebut sejumlah anggota Komisi I lainnya, seperti Budianto Bulang, Yusuf Mustafa, Safuad, dan Didik Agung Eko Wahono, serta perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda, Fajar BP, Ikhsan, dan Cahyo. Sedangkan dari Pemerintahan Kota Samarinda diwakili Camat Sungai Pinang, Abdullah, Plt Camat Samarinda Utara, M Joni, serta Lurah Mugirejo, Irwansyah.
Menurut Mukhlis Ramlan, Keuskupan Agung Samarinda diduga membangun bangunan di atas lahan tersebut secara sepihak dan tanpa izin atau pemberitahuan kepada pemilik lahan sah.
“Keuskupan membangun di atas tanah itu tanpa seizin klien kami, dan ini sudah jelas melanggar hukum serta menimbulkan kerugian secara materil maupun moril. Apalagi ini menyangkut perasaan umat Islam yang merasa dizalimi,” tambahnya.
Lebih lanjut, mereka menyampaikan bahwa telah terjadi perbedaan mencolok antara ukuran tanah dalam surat lama dan yang tercantum dalam dokumen baru yang dimiliki pihak Keuskupan.
“Ada kejanggalan. Tanah yang sebelumnya berdasarkan surat pernyataan lama luasnya 600 meter persegi, tiba-tiba dalam Surat Pernyataan Penguasaan Tanah yang diterbitkan pada 2022, berubah menjadi sekitar 5.475 meter persegi. Ini perlu diklarifikasi secara hukum,” tegas Mukhlis Ramlan.
Menurut dia, tanah tersebut dibeli oleh Djagung Hanafiah dari Maimunah pada tahun 1988. Namun, Keuskupan mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan hibah dari Margharetha, istri almarhum Dony Saridin, yang juga membeli sebagian lahan dari Maimunah pada tahun yang sama.
Kuasa hukum Hairil Usman juga mengaku telah beberapa kali meminta mediasi melalui kecamatan dan kelurahan, namun pihak Keuskupan maupun Margharetha tidak memberikan tanggapan.
“Sudah beberapa kali kita coba undang untuk mediasi, tidak ada jawaban. Ini menunjukkan tidak ada itikad baik dari pihak Keuskupan dan Ibu Margharetha,” ujar Jamaluddin.
Sementara Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandy, karena pihak terlapor, yakni Keuskupan Agung Samarinda tidak hadir, maka Komisi I akan jadwalkan kembali.
“Kita akan panggil mereka pada hari Selasa depan untuk meminta keterangan mengenai dasar surat-surat kepemilikan tanah yang mereka,” ujar Agus Suwandy.
Ia menambahkan, kejelasan dari pihak Keuskupan sangat dibutuhkan agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga dapat memastikan objek yang disengketakan secara tepat.
“Kita tidak ingin main asumsi. BPN harus tahu dengan jelas, surat mana, objek mana. Karena ini masih belum ada kejelasan yang sahih dari kedua belah pihak,” lanjutnya.
Agus Suwandy, mengingatkan bahwa sengketa tanah ini berpotensi memunculkan konflik horizontal di masyarakat jika tidak diselesaikan secara bijak. Ia menekankan perlunya pendekatan musyawarah.
Penulis : Nai | Editor : Intoniswan | ADV DPRD Kaltim
Tag: Komisi I DPRD KaltimPertanahan