Manik Dayak Warisan Leluhur yang Terus Berkembang dalam Bingkai Sejarah

Ketua Dekranasda Kaltim Sarifah Suraidah Harum bersama Wakil Ketua Dekranasda Wahyu Hernaningsih Seno dalam kegiatan Bimtek IKM Kerajinan Manik-Manik di Kota Balikpapan, Selasa (22/4/2025). (Foto Dekranasda Kaltim/Niaga.Asia)

BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Ketua Dekranasda Kalimantan Timur (Kaltim) Sarifah Suraidah Harum, menyoroti manik-manik khas di Tanah Borneo, khususnya suku Dayak dalam bingkai sejarah dan perubahan zaman.

Pada acara Bimtek IKM Kerajinan Manik-Manik di Kota Balikpapan, Selasa (22/4), Bunda Harum, sapaan akrabnya, menyebut bahwa manik merupakan artefak hidup yang yang masih bertahan dan terus berkembang sebagai identitas, spiritualitas, dan ekspresi budaya lokal.

“Manik adalah salah satu ikon budaya Dayak yang mengalami dinamika menarik dari masa ke masa. Dari fungsi sakral dan identitas budaya, kini manik menjadi komoditas ekonomi dan seni kontemporer,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa sejak ratusan tahun lalu, manik telah hadir sebagai bagian dari ritual adat, simbol status sosial, hingga lambang hubungan spiritual dengan leluhur. Warna dan motif manik membawa makna mendalam, mulai dari perlindungan hingga kekuatan spiritual.

“Manik-manik pada masa ini terbuat dari bahan alami seperti batu, tulang, dan biji-bijian,” bebernya.

Perjalanan manik pun turut berlanjut di masa transisi, saat pengaruh luar mulai masuk ke pedalaman Kalimantan melalui berbagai jalur, baik perdagangan dan penyebaran agama. Saat itu, manik kaca masuk menggantikan bahan-bahan alami seperti batu dan tulang, namun tetap diolah dalam bentuk, makna maupun motif lokal.

“Pengaruh luar tidak menghapus nilai budaya, justru memperkaya ekspresi. Fungsi manik pun berubah jadi lebih estetika dan bernilai ekonomi. Tapi tetap saja, manik kita dijaga dalam upacara adat serta pakaian tradisional,” katanya.

Memasuki era modern seperti saat ini, manik kembali mengalami transformasi. Manik pun menjadi elemen penting dalam produk industri kreatif. Aksesoris seperti kalung, gelang, tas, bahkan sepatu berbahan manik kini menjadi produk komersial yang dipasarkan hingga tingkat nasional dan internasional.

“Tidak hanya itu, ada pergerakan kuat dari masyarakat adat dan pegiat budaya untuk mengembangkan penggunaan manik dalam kehidupan sehari-hari dan upacara adat,” paparnya.

Namun, Bunda Harum juga tak mau menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi. Ia merasa bahwa minat generasi muda di Bumi Etam terhadap kerajinan tradisional terus menurun.

Tak hanya tantangan itu, produk pabrikan juga menawarkan persaingan yang ketat. Akses terhadap pasar dan bahan baku juga kerap menjadi kendala bagi perajin lokal.

“Kita perlu gerakan bersama untuk menjaga agar manik-manik ini tetap menjadi bagian dari kehidupan, bukan sekadar peninggalan. Pelatihan, promosi, dan dukungan kebijakan menjadi kunci. Mari bersama-sama hadapi tantangan itu,” tegasnya.

Dengan momentum pelatihan ini, ia berharap akan lahir lebih banyak pelaku industri kreatif yang bisa menjaga nilai budaya sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru bagi Provinsi Kaltim.

“Kita harap ada banyak pelaku industri kreatif yang lahir di Kaltim ini,” tutupnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | Adv Diskominfo Kaltim

Tag: