
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI dikhawatirkan dapat memperburuk situasi kebebasan pers, terutama bagi kelompok-kelompok rentan seperti jurnalis perempuan, karena militer semakin banyak menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga negara.
Perempuan Mahardhika Samarinda melalui Komite Basis Jurnalis menyampaikan kekhawatirannya tersebut dalam Diskusi Publik bertema “Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan”, yang diselenggarakan pada Sabtu (26/4) di Kantor PWI Kaltim, Jalan Biola, Samarinda.
Diskusi kali ini menghadirkan dua narasumber utama, diantaranya; Titah yang merupakan Koordinator Komite Basis Jurnalis, serta Noviyatul dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda. Keduanya kompak menyoroti beragam bentuk kekerasan berlapis yang dialami oleh jurnalis perempuan, baik sebelum maupun sesudah pengesahan revisi UU TNI.
Dalam paparannya, Titah mengungkapkan bahwa selama ini jurnalis perempuan telah mengalami berbagai kekerasan berbasis gender dalam dunia kerja. Bentuk kekerasan tersebut meliputi pelecehan seksual, komentar seksis dari narasumber maupun rekan kerja, hingga kekerasan fisik dan psikologis.
“Kasus kekerasan kepada jurnalis perempuan bukan hal baru. Namun, dengan disahkannya revisi UU ini, kerentanan mereka semakin meningkat,” ujarnya.
Ia mencontohkan dua kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2025. Pertama, teror yang dialami oleh Cica, jurnalis Tempo, berupa kiriman kepala babi dan bangkai tikus sebagai bentuk intimidasi berbasis gender.
Kasus kedua, yakni pembunuhan berencana terhadap jurnalis Juwita di Banjarbaru, yang menurut hasil investigasi, tergolong sebagai tindakan femisida.
“Ini bentuk nyata dari femisida, dia dibunuh karena gendernya,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kejadian terkini di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), di mana seorang jurnalis perempuan mengalami intimidasi dari salah seorang narasumber lantaran mempertanyakan isu yang dianggap di luar agenda resmi.
Sementara itu, Noviyatul menekankan bahwa kerentanan jurnalis perempuan dalam dunia kerja masih ibarat fenomena gunung es, yaitu hanya sebagian kecil dari sekian banyaknya yang tampak di permukaan.
Ia mengingatkan bahwa meski Dewan Pers mengeluarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di media, implementasinya masih minim di banyak perusahaan pers.
“AJI Samarinda telah membentuk SOP dan satuan tugas khusus. Namun, tantangan untuk penerapannya di lapangan masih sangat besar,” tegasnya.
Dalam forum diskusi ini, seluruh peserta sepakat bahwa solidaritas menjadi kunci utama menghadapi situasi ini. Berserikat dan membangun jaringan kolektif dipandang sebagai langkah strategis untuk memperkuat perlindungan terhadap jurnalis perempuan.
“Satu suara tidak cukup melawan sistem kekerasan. Kita harus berserikat melawan dan membangun dunia jurnalistik yang aman,” tegas Titah dalam sesi penutup diskusi.
Perempuan Mahardhika Samarinda melalui Komite Basis Jurnalis juga mengajak seluruh jurnalis perempuan di Kota Samarinda dan sekitarnya untuk bergabung, sebagai bentuk upaya membangun kekuatan bersama dalam melawan dominasi militerisme, patriarki di ruang redaksi, serta memperjuangkan penerapan SOP kekerasan seksual di dunia jurnalistik.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Jurnalis