Cerpen Karya: Efrinaldi

Jam tujuh pagi istriku telah berpakaian tradisional Minangkabau “basiba” lengkap tutup kepala “kompong”. Aku lihat istriku cerah sekali. Hari ini adalah acara pesta kampung dalam rangka peresmian renovasi mushalla dan khatam Quran anak-anak kampung. Aku dan istriku akan ikut menghadiri pesta kampung itu. Aku memakai pakaian “guntiang Cino” dan tutup kepala kopiah putih dari Mekah.
Kami pergi mengendarai sepeda motor ke lapangan bola tempat mulainya arak-arakan rombongan khatam Quran. Sesampainya di lokasi belum banyak orang yang datang, walau dijadwalkan jam tujuh pagi sudah mulai berkumpul. Aku memarkir sepeda motorku dan bergabung dengan orang-orang yang sudah datang. Aku memotret-motret situasi pagi itu. Istriku minta dipotret bersama temannya yang sama-sama berpakaian adat.
Jam delapan barulah banyak yang datang. Peserta khatam Quran sudah hampir semuanya datang. Sudah datang juga peserta drum band. Jam 8.15 mulialah arak-arakan. Drum band mulai bergerak dan menjadi pemandu terbentuknya pawai. Arak-arakan diawali dengan spanduk khatam Quran diikuti peserta khatam Quran. Diikuti ibu-obu memakai pakaian adat dan ibu-ibu memakai pakaian muslim dari kelompok Yasinan. Karnaval diiringi drum band di belakangnya.
Aku mengikuti pawai dari belakang mengendarai sepeda motor. Sepanjang jalan aku menikmati kemeriahan pawai. Banyak penduduk menyaksikan pawai di sepanjang jalan yang dilalui. Kamera HP banyak membidik pawai itu. Sepanjang jalan terlihat wajah-wajah gembira penduduk menyaksikan pawai.
Sampailah di mushalla yang akan diresmikan sekaligus tempat acara khatam Quran. Acara dihadiri pejabat kampung, sampai wakil bupati. Ada acara seremonial berupa pidato-pidato dan pengguntingan pita oleh wakil bupati. Acara dilanjutkan dengan makan bersama.
Suguhan makan bersama sungguh spesial. Masakan tradisional yang bumbunya khas hanya ada di kala pesta. Untuk acara makan-makan itu disembelih seekor sapi dan empat ekor kambing. Semuanya dari partisipasi masyarakat. Acara makan pun untuk semua anggota masyarakat tanpa kecuali.
*
Ada yang membuatku terpanggil ikut acara ini secara lengkap. Dua hari sebelumnya kami didatangi panitia acara untuk memberi tahu acara itu. Mereka meminta istriku ikut memasak masakan untuk pesta kampung itu. Panitia juga meminta sumbangan buat hadiah para peserta khatam Quran. Kami menyumbang juga. Dengan demikian aku merasa dilibatkan dan merasa diterima masyarakat dengan seutuhnya.
Telah lima tahun kami pulang ke kampung halaman setelah 25 tahun merantau. Kami pulang setelah aku pensiun dari Kota Bandung. Walau Minangkabau adalah kampung halaman kami, canggung juga untuk bergaul lagi dengan masyarakat yang telah lama ditinggalkan.
Lima tahun telah berlalu kami di kampung, namun kami belum sepenuhnya melebur dengan masyarakat luas. Masih terbatas pada keluarga dekat dan tetangga dekat. Kalau ada acara kampung, kami cuma terlibat seperlunya.
*
Aku pun ikut makan di acara itu. Kusapa orang yang berpapasan denganku dan duduk dekatku. Aku menikmati berada di tengah masyarakat kini. Aku lebur menjadi masyarakat kebanyakan setelah sekian tahun aku terpuruk dalam “post power symdrom” sejak aku pensiun. Inilah awal kebaikan yang aku temukan. Kembali hidup sesuai hati dan yang ditampilkan. Alhamdulillah!
Tag: Cerpen