Rehan, Sang Pejuang Keluarga

Cerpen Karya : Efrinaldi

Lele asap. (Foto Efrinaldi)

Suatu siang aku di rumah ibuku di Mungka. Bertemu Rehan, pekerja rumah produksi Lele Asap milik adikku. Dia pekerja baru. Aku sempat lihat dia bekerja sangat rajin walau belum begitu cepat dalam bekerja. Tidak masalah, sebab upahnya tergantung volume pekerjaan yang terselesaikan.

Kata adikku Rehan ini jujur dan itu yang utama bagi adikku. Diyakini dia tidak melakukan pencurian bahan baku maupun produk dalam proses dan produk jadi.

Dia makan siang di rumah ibuku yang kini dipakai adikku sebagai tempat tinggal sekalian kantor bisnisnya. Rupanya makan siang disediakan adikku gratis untuk Rehan, sebagai fasilitas dia bekerja di rumah produksi adikku.

Aku juga makan siang di sana, kebetulan aku main-main ke rumah ibuku siang itu. Sambil makan kutanya-tanya perihal Rehan. Begini percakapannya.

“Rehan tinggal di mana?” tanyaku.

“Tinggal di dalam rumah produksi lele asap, Pak,” jawab Rehan.

“Oh, bagus itu. Sudahlah dapat makan,siang, juga dapat tempat tinggal,” kataku.

“Alhamdulillah, Pak,” jawab Rehan.

“Terus apa lagi keperluan pribadinya?” tanyaku.

“Beli rokok, Pak. Rp20.000 sehari, terus malam malam Rp12.000, alat madi Rp3.000 sehari. Total Rp35.000 sehari,” kata Rehan.

“Berapa penghasilannya sehari?” tanyaku.

“Rata-rata Rp100.000 sehari,.” jawab Rehan.

“Oh, bagus! Berarti bisa tersisa Rp65.000 sehari ya?” ujarku.

“Iya, Pak,” jawab Rehan.

“Apakah uangnya ditabung?” tanyaku.

“Iya, Pak,” jawab Rehan.

“Sudah banyak tabungannya?” tanyaku memancing.

“Lumayan, Pak. Tetapi tidak bertambah-tambah juga sebab, ada saja keperluan adikku untuk biaya sekolahnya,” jelas Rehan.

Aku membelalak.

“Jadi Rehan membantu adik-adik membiayai sekolah?” tanyaku.

“Iya, Pak,” jawab Rehan.

“Memangnya orangtuanya tidak mencukupi untuk keperluan adik-adik?” tanyaku.

“Mereka berusaha mencarikan., Tetapi selalu kurang. Ayahku pedagang jajanan keliling. Ibu hanya ibu rumah tangga. Sementara ada tiga adik-adikku. Satu sekolah di pesantren diasramakan, satu kelas satu SMP dan satu lagi kelas tiga SMP. Orang tuaku suka kewalahan biaya adik pertama. Aku yang membantu biaya sekolahnya secara penuh. Sementara dua adik lain hanya sewaktu-waktu dibutuhkan seperti beli buku dan pakaian,” jelas Rehan panjang lebar.

Aku terhenyak. Anak muda yang berusia 20 tahun itu, lulus SMK jurusan  Multi-Media harus bekerja keras untuk membantu membiayai adik-adiknya.

“Kamu sendiri belum menikah?” tanyaku.

“Belum, Pak. Masih muda.. Aku bertekad adikku tertua tamat sekolah dulu dan bekerja dan bisa membantu membiayai dua adik-adiknya. Setelah itu aku baru menabung buat persiapan pernikahan,” jawab Rehan.

Aku manggut-manggut. Mulai aku kagum akan kepribadian anak ini. Kemudian aku berkata padanya.

“Kamu orang baik. Semoga nanti dapat istri yang baik juga. Telitilah memilih pasangan. Carilah yang shalehah dan menjaga kesuciannya, yang dapat menjaga harta suami, yang menjaga kehormatan suami. Janganlah tergoda hanya karena kecantikannya,” kataku menasehati.

“Terima kasih nasehatnya, Pak,” jawab Rehan.

Rehan meletakkan sendok garpu di piring makannya. Dia  mengangkat tangan seperti berdoa dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke muka.

Aku selesai makan. Tak lama setelahnya Rehan juga selesai makan.

Kami makan pisang yang tersedia sebagai makanan penutup siang itu.

“Baiklah Rehan. Bapak pergi salat dulu. Terima kasih telah bercerita-cerita siang ini,” kataku.

“Iya, Pak. Rehan juga berterima kasih telah diajak ngobrol siang ini. Terima kasih juga atas nasehat Bapak untuk berhati-hati mencari calon istri,.” kata Rehan.

Aku pun tersenyum.

“Kita hanya berikhtiar, Rehan. Namun jodoh Allah yang menentukan,” jawabku.

Rehan cuma tersenyum seperti paham maksudku.

Aku pun berdiri, hendak beranjak dari  meja makan menuju ruang atas rumah ibuku untuk salat zuhur. Rehan kulihat mengikuti berdiri.

“Baiklah Rehan, sampai ketemu lagi nanti!’ ucapku.

“Baik, Pak. Sampai ketemu lagi!” jawab Rehan.

Aku pun meninggalkan Rehan yang masih termangu.@

Tag: