Suatu Petang di Mall Paris Van Java

Cerpen Karya: Efrinaldi

Paris Van Java Mall di Kota Bandung, Jawa Barat. (Foto katadata.com)

Aku tiba di Mall Paris Van Java Bandung tepat pukul 4 sore. Lebih cepat dari Retno. Kutelpon Retno.

“Retno, sudah sampai di mana?”

“Di Jalan Pajajaran, macet.”

“OK! Kutunggu!.” jawabku.

Aku mematikan HP. Kuambil rokok di kantong bajuku. Kunyalakan rokokku. Kuisap dalam-dalam dan kemudian kuhembuskan. Pandanganku tertuju pada halaman mall. Ruang parkir di halaman mall terlihat penuh. Berjejer mobil-mobil keluaran terbaru. PVJ memang mall kalangan elite. Hanya orang berduit mau belanja.

***

“Epi!” seseorang memanggilku.

Aku tersentak dari lamunanku. Aku menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata Retno. Retno memakai baju muslimah berwarna hijau tosca polos dengan kerudung berwarna tosca lebih tua. Tak kusangka Retno masih cantik. Inilah pertemuanku dengan Retno sejak kami berpisah tahun 1990 setamat kuliah.

“Retno, senang sekali kita bisa berjumpa,” kataku sambil menyalami Retno. “Kamu masih seperti dulu, masih mempesona!” lanjutku.

“Eh…jangan genit, ya…. Kita kan sudah kakek-kakek dan nenek-nenek.” ujar Retno  sambil menggaet tanganku hendak pergi.

Aku tersenyum saja. Kami masuk mall.

Sampailah kami di deretan restoran. Aku mengikuti saja ke mana Retno melangkah. Sampailah kami di restoran bergaya millenial. Kursinya dari metal dan mejanya juga berbingkai metal dan berdaun kaca.

Kami duduk di pojok belakang restoran. Retno duduk menghadap ke arah pintu masuk, sementara aku di kursi hadapannya. Sejenak kemudian datanglah pelayan restoran mengantarkan buku menu dan kertas pesanan dengan ball point.

“Kita pesan tomyam saja, ya?” kata Retno..

“Boleh,” jawabku. “Terus aku pesan jeruk panas.” lanjutku.

Retno menulis pesanan dua porsi tomyam plus nasi dan dua porsi jeruk panas. Aku melambaikan tangan ke pelayan. Pelayan datang dan mengambil pesanan kami. Dia baca lagi pesanan kami untuk konfirmasi. Setelah itu pelayan pergi.

“Hebat kamu, Retno!” kataku memulai pembicaraan.

“Hebat apaan?’ jawab Retno sambal acuh tak acuh merapikan kerudungnya yang menjuntai di dadanya.

“Kamu seorang profesor. Anakmu tertua telah meraih gelar Master dari UK. Sementara Si Bungsu telah bekerja di perusahaan beken di Singapura.” kataku.

“Alhamdulilah.” jawab Retno.

“Kamu juga hebat, Epi, ” Ujar Retno sambil meletakkan HP-nya di meja makan.

“Aku sebenarnya iri dengan hidupmu yang bahagia dan damai bersama istrimu di kampung halaman. Kamu berkebun, memelihara ikan, bersepeda motor bersama putramu menjelajahi perkampungan dan daerah wisata di ranah Minang yang elok.” lanjutnya.

“Dari mana kamu tahu?” tanyaku pura-pura bloon.

“Kan kamu aktif sekali up-date status di FB-mu. Aku suka lihat.” jawab Retno.

“Oh, iya, ya…” jawabku sambil mesem-mesem. Kadang aku malu juga orang mengomentari FB-ku sewaktu bertemu muka. Sementara tidak pernah kasih respons di statusku. Ternyata diam-diam banyak yang memperhatikan FB-ku walau tidak sekali pun kasih komentar atau menandai “suka”.

“Tetapi, sayang juga begitu cepat kamu melepaskan diri dari dunia farmasi yang kamu geluti selama ini. Kamu adalah sedikit orang yang benar-benar ahli di bidangmu.” ulas Retno.

“Ya, sudah waktunya, Retno. Aku kan sudah usia pensiun.”

“Memangnya di BUMN pensiun usia berapa?” tanya Retno.

“56 tahun.” jawabku singkat.

***

Retno dan aku selesai makan. Jeruk panas masih tersisa setengah gelas masing-masing kami. Retno kemudian menatapku dalam-dalam. Kemudian berujar dengan perlahan.

“Apa yang kamu tahu lagi tentangku? tanyanya.

“Aku suka searching tentangmu di Google. Kamu dosen dan peneliti hebat. Banyak hasil penelitian yang kamu publikasikan, Juga beberapa penghargaan setingkat nasional bahkan internasional.” jawabku.

“Hanya itu?” selidik Retno.

Aku diam saja. Tidak tahu apa lagi yang harus aku jelaskan. Tiba-tiba Retno seperti menyimpan misteri.. Retno kemudian menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Dia menghela nafas panjang. Lama kami sama-sama diam.

“Retno, aku ini adalah sahabat karibmu dari dulu. Aku ingin kamu menjadikan aku tempat berbagi cerita yang tepat.” ujarku.

Suara alunan musik jaz memenuhi ruangan. Retno kemudian menegakkan badannya.

“Epi, suamiku selingkuh.” kata Retno pelan.

Aku terpana. Tidak bisa aku mempercayai kata-kata Retno itu. Setahuku Retno dengan suaminya adalah pasangan bahagia, yang memulai kehidupan berumah tangga dari dasar cinta yang bersemi sejak SMA.

Mereka membangun karir dan keluarga dengan sangat cemerlang. Retno menjadi dosen hebat dan meraih gelar profesor di usia muda, sementara suaminya menjadi dokter spesialis Obgyn yang terkenal. Sewaktu aku bergaji Rp 15 juta sebulan, seorang dokter spesialis Obgyn seperti suaminya telah berpenghasilan Rp. 80-100 juta per bulan.

“Apakah itu benar, Retno?” tanyaku.

“Benar. Dia telah kawin siri tanpa izin dari aku, istrinya yang syah menurut hukum,” jelas Retno.sambil menyodorkan berita di koran on-line tentang kasus suaminya itu.

“Kalau begitu, suamimu akan terancam hukuman penjara lima tahun kalau kasus ini berlanjut?” tanyaku tidak sabar.

“Kita lihat saja nanti. Aku mengikuti proses hukum positif yang berlaku saja di negeri ini.” jawab Retno.

Retno segera seperti bergegas hendak mengakhiri pertemuan kami.

“Baiklah, Epi. Kita sudah makan dan ngobrol sore ini. Terima kasih atas waktumu mau berjumpa di sini denganku.” kata Retno.

“Aku juga berterima kasih dapat berkesempatan bertemu kamu yang sangat sibuk.” jawabku.

Aku melambai ke pelayan. Pelayan datang membawa tagihan. Aku memberikan tiga lembar uang seratusribuan. Tak lama kemudian pelayan datang mengembalikan uang kembalian.

Aku dan Retno berdiri dan ke luar ruangan restoran..

“Epi, sampai di sini saja ya. Kita berpisah di sini saja. Aku pulang sendiri saja.” ujar Retno sambil mengacungkan tangan.

“Baiklah, Retno.” jawabku sambil menjabat tangannya.

Retno bergegas berjalan menjauh, sementara aku masih berdiri termangu. Dalam hatiku berkata, Retno, Retno… semoga kamu selalu berbahagia!

Tag: