
SAMARINDA NIAGA.ASIA — Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Yusuf Mustafa, secara terbuka menyampaikan, untuk menyelesaikan sengketa tanah antara ahli waris Djagung Hanafiah dengan Keuskupan Agung Samarinda perlu diurai dulu sejarah penguasaannya oleh masing-masing pihak.
“Kami di Komisi I menekankan pentingnya melihat persoalan ini secara objektif berdasarkan aspek yuridis dan historisnya,” ungkap Yusuf Mustafa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait sengketa kepemilikan tanah antara Hairil Usman—ahli waris almarhum Djagung Hanafiah—dan pihak Keuskupan Agung Samarinda, di Gedung E DPRD Kaltim, Selasa (10/6/2025).
“Saya membaca dan mencoba memahami dokumen-dokumen hukum yang ada. Dulu saya berpraktik sebagai lawyer di Balikpapan selama kurang lebih 30 tahun, jadi saya punya sedikit pengalaman dalam menilai masalah seperti ini,” kata Yusuf.
Ia menyayangkan ketidakhadiran perwakilan resmi dari pihak Keuskupan Agung dalam forum tersebut, karena menurutnya, kehadiran semua pihak akan sangat membantu dalam mengurai duduk perkara secara lebih utuh.
“Harapan saya, pihak Keuskupan hadir supaya kita bisa mendengar semua argumentasi, tidak sepihak, dan bisa menilai dengan lebih jernih berdasarkan informasi langsung dari kedua belah pihak,” tambahnya.
Dalam sengketa ini, lanjut Yusuf, terdapat data sejarah penguasaan lahan yang saling tumpang tindih. Berdasarkan dokumen yang ia pelajari, tanah seluas kurang lebih 2,5 hektare tersebut menjadi inti dari sengketa.
Pelapor dalam hal ini, ahli waris almarhum Djagung Hanafiah mengatakan membeli tanah seluas 4.875 meter persegi. Sementara Doni Saridin—nama lain yang disebut dalam catatan penguasaan—memiliki luas lahan 20 x 30 meter sejak tahun 1988.
“Kalau saya lihat dari ukuran dan hitungan geometrisnya, itu 228 meter x 120 meter dan 148 meter x 80 meter. Kalau dijumlah, sekitar 2,5 hektare. Nah, di sinilah letak awal dari benang merahnya,” jelas Yusuf.
Lebih jauh ia menjelaskan, penguasaan tanah tersebut dari waktu ke waktu berpindah-pindah melalui jual beli, hingga muncul nama Margareta yang diklaim memperoleh hak dari Doni Saridin.
Namun, menurut Yusuf, terdapat keraguan dalam dokumen alas hak, karena tidak sepenuhnya menggambarkan jalur kepemilikan yang valid secara yuridis.
“Saya melihat celah. Misalnya, kalau Margareta memperoleh lahan dari Doni Saridin, sementara Doni hanya punya lahan 20 x 30 meter, bagaimana bisa muncul penguasaan atas tanah seluas lebih dari dua hektare? Ini yang menjadi pertanyaan hukum mendasar,” ujar Yusuf.
Salah satu kesulitan utama dalam menyelesaikan sengketa ini adalah adanya informasi terkait legalitas (riwayat dan surat-surat tanah) yang saling bertentangan. Yusuf menegaskan bahwa kedua belah pihak, baik ahli waris maupun Keuskupan Agung, sama-sama mengklaim memiliki dokumen sah atas tanah tersebut.
“Masalahnya bukan hanya siapa yang lebih dulu menguasai, tetapi apakah alas hak itu memiliki dasar yang kuat dalam hukum pertanahan. Di sinilah letak sengketa ini menjadi rumit karena status tanahnya sendiri masih disebut sebagai tanah negara,” terangnya.
Menurutnya, selama tanah tersebut belum bersertifikat atas nama siapa pun secara resmi, maka penguasaan masih berada dalam status rawan sengketa.
“Tanah ini statusnya masih tanah negara. Artinya, tidak bisa dimiliki secara sah sampai ada proses administratif dan hukum yang menyatakan sebaliknya. Di sinilah pemerintah harus cermat menyikapi,” kata Yusuf.
DPRD bukan lembaga yudikatif
Yusuf menegaskan bahwa DPRD bukanlah lembaga yudikatif yang bisa memutus perkara, melainkan hanya memfasilitasi ruang mediasi dan membuka diskusi secara terbuka demi mencari solusi terbaik.
“Lembaga kita ini tidak punya kewenangan memutus, kita hanya memediasi, mendengar semua pihak, dan memberikan gambaran hukum. Itu pun secara non-litigasi,” ujar Yusuf.
Ia pun menyarankan agar pertemuan lanjutan kembali digelar dengan menghadirkan semua pihak secara lengkap, termasuk Keuskupan Agung Samarinda, guna memastikan transparansi proses dan penyelesaian yang adil.
”Kita berharap kedua belah pihak yang bersengketa dan saling klaim bisa duduk bersama guna mencari titik temunya,” pungkasnya.
Penulis: Nai | Editor: Intoniswan | ADV DPRD Kaltim
Tag: Pertanahan