Teh Ade

Cerpen Karya : Efrinaldi

Ilustrasi (Foto iefasemarang.com)

Suatu pagi aku di kebun di Padang Kandi. Aku duduk-duduk di teras rumah kebun. Aku menelepon Teh Ade melalui WA.

“Teh Ade, Apa kabar?” kataku begitu teh Ade menyahut panggilanku.

“Baik, Pak!” jawaban Teh Ade.

“Lagi apa?” tanyaku.

“Lagi di toko, Pak.” jawab Teh Ade.

Bagaimana tokonya? Apa laris?” tanyaku.

“Lumayan, Pak.” jawan Teh Ade.

“Alhamdulilah!” sahutku.

Kami pun menutup obrolan per WA pagi itu.

Teh Ade adalah asisten apoteker. Dia asistenku sejak aku bekerja di R&D suatu perusahaan yang memproduksi obat-obatan di Bandung sejak Juli 1996 sampai akhir Mei 2018. Kedekatanku dengan Teh Ade sebagai atasan dengan asisten bagaikan saudara kandung.

Sebagai apoteker, aku memang sangat terkesan pada Teh Ade yang seorang asisten. Dia sangat santun, patuh, cerdas, dapat diandalkan, jujur, terpercaya, cepat belajar, dan pandai berkomunikasi.

Pikiranku kembali ke masa lalu. Aku bersama Teh Ade bekerja selama 22 tahun, waktu yang sangat panjang. Banyak suka duka bersama Teh Ade. Bagaimana kami sering pergi percobaan skala produksi ke pabrik Kimia Farma di Jakarta.

Sering kami harus menginap di  mess perusahaan di Cipinang Cempedak. Pergi dan pulang naik kereta api Bandung-Jakarta pergi pulang. Teh Ade menyiapkan semua keperluan penelitian/ percobaan di pabrik Jakarta.

Teh Ade juga menyiapkan SPJ kami. Kami sering makan malam bersama sepulang kerja di pabrik Jakarta. Teh Ade yang membayarnya memakai uang saku perjalanan dinas kami.

Aku ingat kami percobaan suatu obat sekitar tahun 2010. Percobaan skala produksi itu sukses. Aku girang  alang kepalang. Kami merayakan kesuksesan itu dengan makan malam di restoran masakan Padang di Cipinang Cempedak Jakarta malam itu.

Sehabis makan malam, kami pulang ke mess. Sesampai di mess, kami berpisah di ruang tamu mess. Teh Ade menuju kamarnya dan aku menuju kamarku.

Di kamar aku duduk sebentar. Kemudian terdengar suara azan isya. Aku pergi ke mushalla mess. Berwudhu dan salat. Aku bertemu rekan sejawatku satu tempat kerja. Kami mengobrol sebentar dan kemudian kami masuk kamar masing-masing.

Esoknya kami kembali ke pabrik menyelesaikan pemeriksaan tambahan dan menyelesaikan administrasi penelitian. Sebelum ashar kami telah berangkat dari pabrik menuju stasiun kereta Jatinegara Jakarta.

Kami tiba di Bandung sekitar jam sembilan malam. Kami pun menuju rumah makan masakan Padang dekat stasiun Bandung. Sehabis makan, kami pun berpisah. Aku berjalan kaki menuju rumah dinasku, sementara Teh Ade pulang dengan Taksi menuju rumahnya di kawasan Bandung Selatan.

Aku terbangun dengan lamunanku. Aku pernah bercerita dengan Teh Ade tentang kegiatan kami setelah pensiun tahun 2020. Teh Ade memutuskan membuka toko bahan bangunan di Singaparna Jawa Barat, kampung halamannya.

Dia memakai sebagian besar uang pesangonnya untuk modal usahanya itu. Aku pernah mengatakan bahwa Teh Ade sangat berani berbisnis. Teh Ade hanya ketawa saja ketika kukatakan kekagumanku itu. Teh Ade memang berasal  dari Kabupaten Tasikmalaya, daerah yang orang-orangnya pandai berbisnis.

Kalau aku, walau orang Minang yang terkenal juga pandai berdagang, namun aku anak guru, yang sangat “safe player” dalam masalah berbisnis. Sampai detik ini, aku baru memakai sebagian kecil uang pesangonku  untuk perbaikan kolam ikan sebanyak Rp10 juta dan penyertaan modal di pupuk organik milik adikku Hendra sebanyak Rp12 juta.

Tiba-tiba HP-ku berdering.  Aku angkat. Rupanya dari Teh Ade.

“Pak, bukunya telah saya terima.” kata Teh Ade di seberang sana.

“Alhamdulilah.” sahutku.

Aku memang baru saja mengirim buku sastra soloku berjudul Kehidupan Dalam Semburat Kisah. Teh Ade adalah salah satu orang yang memberikan komentar dalam bukuku itu.

Aku dan putraku Faiz kemudian selfie-selfie di kebun kami. Memposting foto-foto itu di Facebook.

Memang sejak resmi pindah ke Padang Kandi, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat tahun 2021, aku dengan putraku Faiz suka berkebun. Teh Ade suka menjempoli dan mengomentari status dan foto-fotoku di Facebook yang memakai nama Efrinaldi Awiskarni Moechtar.

Matahari hampir di puncak ubun-ubun. Aku dan Faiz pun pulang ke rumah untuk istirahat, makan dan salat.@

Tag: