Kristoforus Gustian: Program Sekolah Penggerak Merubah Paradigma Pendidikan

Kepala SMA Katolik Santo Fransiskus Assisi Samarinda, Kristoforus Gustian, S.S, S.Pd. Gr (Foto: Teodorus/Niaga.Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Katolik Santo Fransiskus Assisi Samarinda, Kristoforus Gustian, S.S, S.Pd. Gr mengatakan program sekolah penggerak yang digagas oleh Pemerintah pusat merupakan upaya untuk menciptakan perubahan paradigma dalam dunia pendidikan.

“Sekolah penggerak ini implementasi dari kurikulum merdeka belajar. Jadi pendidikan kita tidak lagi konvensional, tapi lebih ke modern dengan tetap memperhatikan kebutuhan peserta didik di sekolah,” kata Kristoforus saat ditemui Niaga.Asia di ruang kerjanya, Kamis (3/8/2023).

Untuk diketahui, bahwa Program Sekolah Penggerak merupakan katalis untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia. Program Sekolah Penggerak yang kini tersebar di seluruh Indonesia berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi (literasi dan numerasi) dan karakter. Implementasi sekolah penggerak tentunya diawali dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul terutama tenaga kependidikan atau guru.

Menurut Kristoforus, SMA Katolik Santo Fransiskus Assisi Samarinda, salah satu sekolah swasta dengan status sekolah penggerak di Kalimantan Timur (Kaltim) terus melakukan inovasi, terutama peningkatan kapasitas guru dengan mengikuti lokakarya, misalnya PMO (Program Management Office) dan IHT (In House Training)  dan beberapa program kegiatan lainnya.

“Pelaksanaan program kegiatan tersebut tujuannya agar guru mampu memahami secara maksimal terkait implementasi sekolah penggerak,” ujarnya.

Dalam implementasi sekolah penggerak ini, jelas Kristoforus, guru tidak lagi dijadikan satu-satunya sumber pembelajaran (teacher center), namun siswa lebih didorong untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan seperti aktif berdiskusi serta didukung dengan semangat literasi yang tinggi (student center).

“Sekolah sekolah penggerak ini merupakan salah satu program pemerintah dalam usaha implementasi Kurikulum Merdeka. Artinya siswa harus lebih aktif dan berkembang, guru hanya menuntun supaya dia (siswa) mampu mengekspresikan kemampuannya secara maksimal,” jelasnya.

Dikatakan Kristoforus, dalam implementasi sekolah penggerak ini, sebagai pendidik atau guru harus memiliki mindset yang baru tentang pendidikan. Kemudian kebijakan yang diterapkan dalam sekolah juga harus mengutamakan kualitas bukan sekedar nilai.

SMA Katolik Santo Fransiskus Asisi Samarinda yang merupakan salah satu sekolah swasta berstatus sekolah penggerak di Kalimantan Timur (Foto: Istimewa/Niaga.Asia).

“Sekarang itu bukan nilai yang menjadi utama, tapi kualitas. Seperti di SMA Assisi, dalam pembagian raport tidak lagi yang namanya ranking atau juara, tapi kami memilih siswa terbaik. Siswa terbaik ini meliputi enam dimensi dalam profil pelajar Pancasila, diantaranya bernalar kritis, kreatif dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha. Kemudian diikuti dengan empat karakteristik sekolah meliputi, kasih, penyembuh, peduli terhadap orang kecil dan terakhir salib,” sebutnya.

Selain itu, kualifikasi lain untuk menentukan siswa terbaik juga akan dilihat dari kemampuan budaya literasi (baca dan tulis). Selanjutnya berkaitan dengan kemampuan literasi numerasi (kemampuan matematika dasar).

“Jadi dalam program sekolah penggerak ini kiblat pendidikan itu sudah berubah. Kalau dulu kan pengetahuan yang paling utama, sekarang tidak. Sekarang yang paling utama itu adalah kualitas diri,” terangnya.

Bagi Kristoforus, kurikulum merdeka belajar yang diterapkan saat ini memiliki dampak perubahan yang positif terhadap dunia pendidikan.

“Kalau semua orang khususnya tenaga pendidik memahami betul terkait kurikulum yang baru ini, saya yakin akan mengalami perubahan yang besar dalam dunia pendidikan kedepan,” tegasnya.

Penulis: Teodorus | Editor: Intoniswan

Tag: