Salehuddin Pertanyakan Proses Hukum Terhadap Penabrak Fender Jembatan Mahakam I

Kondisi fender jembatan Mahakam I usai ditabrak ponton bermuatan batubara Sabtu malam (26/4/2025), sekitar pukul 23.30 WITA. (Foto Dok Sapto Setyo Pramono/Niaga.Asia)

 

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Sekretaris Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Salehuddin, mempertanyakan proses hukum terhadap pihak yang telah menabrak fender  (bangunan pengaman) tiang jembatakan Mahakam I di Samarinda.

“Sudah 23 kali ditabrak. Kejadian berulang ini tidak bisa lagi dianggap biasa. Sudah saatnya langkah hukum yang tegas diambil untuk memberi efek jera dan melindungi aset vital negara,” tegas Salehuddin saat dihubungi, Jumat (2/5/2025).

“Kalau kejadian ini terus terulang dan tidak ada tindak lanjut hukum, maka pemerintah seolah membiarkan asetnya dihancurkan. Ini bukan hanya jembatan di Samarinda, tapi juga di Kutai Kartanegara dan daerah lain. Selama ini penabrakan terjadi, tapi tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana kompensasinya,” sambungnya.

Ia menilai selama ini belum ada langkah konkret dari institusi yang bertanggung jawab untuk menindak tegas pelaku pelanggaran, termasuk pengelola lalu lintas pelayaran di bawah Kementerian Perhubungan, seperti KSOP dan Pelindo.

Salehuddin menyatakan dukungannya terhadap upaya kejaksaan untuk segera melakukan supervisi hukum atas setiap kejadian yang terjadi.

“Saya sangat mensupport kalau kejaksaan segera masuk. Harus ada kejelasan data, proses hukum, dan audit kejadian-kejadian sebelumnya,” katanya.

Ia bahkan mengusulkan agar kejadian tabrakan ini tidak hanya dicatat dalam rapat-rapat atau dilimpahkan ke instansi lain tanpa hasil, tetapi benar-benar diproses hukum hingga tuntas.

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar ini juga mendukung wacana pelimpahan kewenangan pengelolaan dan pengawasan jembatan strategis kepada pemerintah daerah, apabila pihak-pihak terkait di tingkat pusat dianggap tidak mampu mengelola dengan baik.

“Kalau memang tidak mampu mengelola, ya serahkan saja ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah bisa melalui BUMD atau pihak profesional yang memang ditugaskan khusus untuk mengawasi dan melakukan mitigasi risiko, termasuk pemeliharaan jembatan,” ujar Salehuddin.

Ia mengingatkan bahwa prinsip otonomi daerah dan desentralisasi memberi ruang bagi pemerintah provinsi untuk mengambil peran lebih besar dalam melindungi aset-aset strategisnya.

“Kerusakan terjadi di daerah, biaya perbaikannya dari APBD kita, tapi pengelolaan dan tanggung jawab malah dipegang institusi vertikal. Ini harus dievaluasi. 23 kali ditabrak itu bukan angka yang bisa ditoleransi. Ini bukti pengelolaan yang buruk,” pungkasnya.

Penulis : Nai | Editor : Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: